MATERI
6 PENAJAMAN CITRA DAN PEMFILTERAN SPASIAL
Penajaman
citra (image enhancement) meliputi semua operasi yang menghasilkan citra ‘baru’
dengan kenampakan visual dan karakteristik spektral yang berbeda. Di samping
penajaman citra, ada lagi jenis operasi yang disebut pemfilteran (filtering).
Pada beberapa pustaka (misalnya Niblack, 1986; dan Mulder dan Kostwinder, 1987)
kedua teknik ini tidak dikelompokan dalam satu kelompok operasi yang disebut
penajaman citra. Pada umumnya para penulis yang mempunyai latar belakang bukan
ilmu kebumian cenderung mengelompokan pemfilteran sebagai teknik terpisah dari
teknik-teknik penajaman karena efek yang dihasilkan dan filosofinya pun berbeda
dari teknik-teknik penajaman yang lain. Namun ada pula beberapa penulis yang
menyatukan teknik penajaman dan pemfilteran sebagai satu kelompok operasi
penajaman.
6.1
PENAJAMAN KONTRAS
Penajaman
kontras (contrast enhancement) diterapkan untuk memperoleh kesan kontras citra
yang lebih tinggi. Hal ini dapat dilakukan dengan mentransformasi seluruh nilai
kecerahan dan memberikan hasil berupa citra dengan nilai maksimum baru yang
lebih tinggi dari nilai maksimum awal, dan nilai minimum baru yang (pada
umumnya) lebih rendah dari nilai minimum awal. Secara visual, hasil ini berupa
citra baru yang variasi hitam-putihnya lebih menonjol sehingga tampak lebih
tajam dan memudahkan proses interpretasi. Algortitma penajaman kontras ini
dapat di kelompokan menjadi dua, yaitu perentangan kontras (contrast
stretching) dan ekualisasi histogram (histogram equalization). Masing-masing
algoritma dijelaskan sebagai berikut ini.
6.1.1
Perentangan Kontras
Kontras
citra dapat dimanipulasi dengan merentang nilai kecerahan pikselnya.
Perentangan yang efektif dapat dilakukan dengan memperhatikan bentuk
histogramnya. Citra asli, yang biasanya mempunyai julat nilai lebih sempit
0-255, perlu direntang sehingga kualitas citranya menjadi lebih baik. Hasil
perentangan ini adalah citra baru, yang bila digambarkan histogramnya berupa
kurva yang lebih lebar (lihat Gambar 6.1)
Terdapat
beberapa cara untuk merentang kontras citra. Cara paling sederhana ialah dengan
mengalikan citra tersebut, misalnya dengan faktor pengali p. Citra
X dengan julat nilai kecerahan 0-21, bila dikalikan dengan faktor p =
3 menghasilkan citra X’ dengan julat 0-63. Pada pengaturan warna hitam-putih,
citra baru ini akan tampak lebih kontras karena julatnya semakin lebar. Nilai
maksimum lama, yaitu 21, yang tampak gelap ditransformasi manjadi nilai
maksmimum baru, 63, yang tampak jauh lebih cerah; sedangkan nilai minimum
dijaga tetap (Gambar 6.2.a)
Cara
lain adalah suatu pengondisian. Perentangan dilakukan pada julat diantara nilai
maksimum dan nilai minimum. Misalnya citra X {0..21} akan direntang menjadi
citra X” {0..255}, tetapi dengan mengambil nilai 3 sebagai nilai masukan
minimum dan 19 sebagai nilai masukan maksimum. Dalam hal ini, nilai asli pada
citra X {0..21} yang <= akan menjadi 0 pada citra baru, dan nilai asli yang
>= 9 akan menjadi 255 (gambar 6.2.b).Transformasinya adalah sebagai berikut
:
BV output = (BV input – BV min)
/ (BV maks – BV min) * 255
................................. (6.1)
BV output adalah
nilai kecerahan baru hasil transformasi, BV input adalah
sembarang nilai kecerahan piksel pada citra yang menjadi masukan, BV maks adalah
nilai kecerahan maksimum piksel pada citra asli. Nilai koefisien 0-255
(kecerahan maksimum). Apabila menghendaki nilai maksimum piksel hasil
transformasi sebesar 200 maka nilai 255 tersebut dapat diganti dengan 200. Pada
persamaan ini, jika BV output ternyata negatif maka nilai
baru akan diatur menjadi sama dengan 0. Begitu pula apabila BV output >
255 maka nilai baru akan diatur menjadi 255.
Operasi
perentangan kontras ini dapat dibalik sehingga menghasilkan citra baru yang
lebih sempit julatnya dan disebut sebagai pemampatan kontras (contrast
compression). Baik perentangan maupun pemampatan kontras mengubah nilai
kecerahan piksel satu demi satu, tanpa melibatkan nilai piksel yang berdekatan
(piksel tetangga). Oleh karena itu, operasi ini disebut sebagai operasi global,
yang secara konseptual berbeda dengan operasi lokal atau operasi fokal
(ketetanggaan) melalui teknik pemfilteran. Pada kebanyakan perangkat lunak
pengolah citra untuk keperluan publishing, biasanya citra ditampilkan sudah
dalam keadaan terentang dengan menggunakan nilai default 1% atau 2%. Nilai
default ini pun biasanya dapat diubah sesuai dengan kebutuhan analis.
GAMPAR 1 PART 1
GAMBAR 2 PART 1
Gambar
6.3 Atas : Citra asli Landsat Thematic Mapper wilayah Semarang saluran 3
(merah); bawah : citra dipertajam melalui teknik perentangan kontras secara
linier dengan cut-off dan saturation 1%.
6.1.2
Ekualisasi Histogram
Teknik
penajaman kontras yang telah diuraikan diatas adalah suatu teknik penajaman
kontras linier. Selain linear stretching ini, ada lagi teknik
penajaman dengan cara ekualisasi histogram ini dapat dibagi menjadi tiga tahap.
Pertama, dilakukan penghitungan untuk menurunkan histogram citra yang akan
dipertajam. Kedua, si operator kemudian menentukan jumlah kelas kecerahan yang
baru (misalnya 32). Data BV seluruh cutra nantinya akan didistribusikan kembali
ke masing-masing kelas tersebut. Ketiga, program akan menghitung dan menandai
piksel demi piksel, untuk kemudian mengelompokan mereka masing-masing dalam
jumlah yang kurang lebih sama ke tiap kelas kecerahan yang tersedia. Setelah
itu, dengan sendirinya citra baru (atau tampilan pada layar) segera dihasilkan.
Ekualisasi
histogram menghasilkan citra dengan kontras maksimum bila pengambilan julat
nilai kecerahannya tepat seperti halnya pada perentangan kontras linier.
Pengambilan ini dikatakan tepat bila julat nilai tersebut mewakili populasi
terbanyak dalam histogram (misalnya pada ‘bukit’ kurva utamanya).
Tabel 6.1 Statistik untuk citra hipotetik
64 kolom x 64 baris (4096 piksel) dengan julat BV 0-7 (8 bit)
Nilai Kecerahan
|
Frekuensi
|
0
|
790
|
1
|
1023
|
2
|
850
|
3
|
656
|
4
|
329
|
5
|
245
|
6
|
122
|
7
|
81
|
Berikut
ini uraian singkat yang diambil dari Jensen (2005, yang juga merupakan
modifikasi atas contoh yang dibuat oleh Gonzalez dan Wintz, 1977). Misalkan
terdapat suatu citra hipotetik yang terdiri atas 64 kolom x 64 baris (total =
4096 piksel) dengan julat nilai 0-7 (BV,=8). Histogram dan distribusi
frekuensinya dapat dilihat pada gambar 6.4a dan tabel 6.1. disana terlihat
bahwa piksel dengan nilai 0 berjumlah 790 (fBV0 = 790),
kemudian fBV1 = 1023, dan seterusnya. Probabilitas kemunculan
tiap nilai kecerahan pBvi pun dapat dihitung dengan cara
membagi tiap frekuensi BVi dengan jumlah piksel total (n=4096).
Rinciannya dapat dilihat pada tabel 6.1.
Setelah
itu, dibuat histogram yang menyatakan distribusi frekuensi nisbah nilai
kecerahan BViterhadap BV maksimum (dari 0,1/7, 2/7, 3/7, .., 1) pada
gambar 6.4b. histogram ini kemudian ditransformasi menjadi histogram kumulatif
pada gambar 6.4c. berdasarkan histogram kumulatif ini, fungsi transformasi
probabilitas sidibuat, yang menyatakan nilai kumulatif probabilitas
tiap nisbah (rasio) kecerahan (lihat gambar 6.4d). formulasinya adalah si=
pi, i = 0, 1,2,3,..
GAMBAR 3 PART 1
Tahap
terakhir adalah pengelompokan kembali nilai kecerahan berdasarkan nilai
tertransformasi si. contoh ini dimulai dari nilai s0=
0.19 , yang lebih dekat ke nilai penisbahan 0.14 (hasil transformasi BV1)
sehingga seluruh piksel bernilai 0 ditransformasi bernilai 1. Beralih ke nilai
si = p0+pi = 0.19+0.25 =0.44. Nilai ini lebih dekat ke nilai penisbahan 3/7
(=0.43), yang dimiliki oleh BV3 sehingga seluruh piksel
bernilai 1 ditransformasi menjadi bernilai 3. Begitu seterusnya hingga
diperoleh nilai baru 5 untuk piksel asli bernilai 2, dan nilai baru 6 untuk
nilai asli 3 dan 4, serta nilai baru 7 untuk nilai asli 5,6 dan 7. Nyata bahwa
nilai kecerahan asli 0,2, dan 4 tak dipresentasikan lagi. Hasilnya adalah citra
baru kekontrasannya lebih optimal.
GAMBAR 4 PART 1
Penajaman
kontras merupakan teknik manipulasi dasar dalam studi pengindraan jauh. Hampir
semua operasi ekstraksi informasi membutuhkan bantuan teknik ini, sejauh hasil
proses tersebut digunakan sebagai materi utama pemilihan sampel (misalnya dalam
penyusunan komposit yang baik untuk klasifikasi multispektral), delineasi
satuan-satuan pemetaan pada hasil cetak (hard copy), dan sebagainya. Penajaman
kontras atas citra saluran-saluran asli tidak pernah direkomendasikan, apabila
saluran-saluran tersebut akan digunakan sebagai masukan dalam proses
klasifikasi.
Multispektral, penisbahan
saluran (band rationing), transformasi indeks vegetasi, ataupun transformasi
lain seperti halnya principal component analisis (PCA) ataupun transformasi
tasseled-cap dari kauth dan thomas (lihat bab 7).
Dalam penajaman citra
yang membutuhkan informasi mengenai variasi penutup/penggunaan lahan pada suatu
citra, teknik perentangan kontras lebih disukai karena mampu menghasilkan
kenampakan gradual nilai-nilai pixel yang berdekatan. Apabila teknik ini
diterapkan pada saluran-saluran tampak, maka akan jelas terlihat variasi jenis
penutup lahan termasuk didalamnya perbedaan kerapatan vegetasi pada lahan-lahan
pertanian. Begitu pula halnya dengan kenampakan tubuh air dengan gradiasi
kekeruhannya, yang mengindikasikan besarnya muatan tersuspensi.
Apabila kenampakan blok
antar objek lebih dibutuhkan, misalnya pengenalan zona-zona permukiman dengan
pemisah berupa jaringan jalan yang ingin dipertegas, maka teknik ekualisasi
histogram pada umumnya lebih eksprisif. Penggunaan teknik ini untuk mempertegas
perbedaan antara tubuh air dan vegetasi pada saluran inframerah dekat (XS3 SPOT
DAN TM4 Landsat) lebih di anjurkan. Lebih dari itu, kadang-kadang diperlikan
juga suatu kombinasi teknik penajaman kontras dengan teknik pemfilteran, karena
citra hasil pemfilteran pada umumnya kurang mampu menyajikan kekontrasan secara
tepat.
Perlu ditegaskan disini
bahwa penajaman kontras tetap tidak mampu menekan pengarug/gangguan atmoefer,,
khususnya apabila gangguan tersebut terjadi secara tiadak merata. Liputan citra
yang sacear parsial tergantung oleh kabut tipis akan lebih efektif dikoreksi
degan model transfer atau meleui kalibrasi garis impiris, seperti yang telah
diuraikan pada bab5. Penajaman kontras terhadap citra semacam ini justru akan
mempertajam kenampakan gangguan atmosfernya.
6.3 PENAJAMAN SPASIAL
MELAUI FUSI CITRA MULTIRESOLUSI
Dalam seperempat abad
terakhir banyak sistem pencitraan telah menghasilkan citra multispektral dan
citra pankronatik. Secara umum dapat dikatakan bahwa suatu sistem sensor yang
mampu menghasilkan citra multispektral denngan resolusi spasial tertentu akan
memberikan citra
Pankromatik dengan
resolusi spasial yang lebih tinggi. Hal ini wajar, mengingat dengan menggunakan
lebar spektrum yang lebih besar, sensor dan detektor dapat mengumpulkan energi
dengan nisbah sinyal terhadap derau yang lebih besar untuk luasan area yang
lebih sempit. Oleh karena itu, apabila suatu sensor dengan saluran spektral
berjulat spektrum relatif sempit memerlukan area seluas 20x20 m kuadrat, maka
dengan saluran spektral pankromatik (0,51-073 um) hanya memerlukan area area
yang lebih sempit, misalnya seluas 10x10 m kuadrat atau kurang untuk
mengumpulkan energi yang kemudian dikonversi ke nilai kecerahan pixel.
SPOT 1-3 merupakan salah
satu sistem satelit pertama yang mampu menghasilkan citra multispektral
(resolusi spasial 20 m) dan pankromatik (15 m). SPOT 5, ikonos, quickbird,
orbview, geoeye merupak contoh satelit yang menghasilkan citra multispektral
dan pankromatik yang jauh lebih tinggi, yaitu 2,5 hingga 0,5 m.
Ide pengubahan citra
multispektral dan pankromatik kemudian muncul yang kemudian disebut resolusi
pan-sharpened colour composite, alasannya miskipun mempunyai resolusi spasial
lebih tinggi, citra pankromatik pada umumnya kurang menarik untuk dimamfaatkan
secara mandiri karena tidak ada unsur warna dalam visualisasinya. Oleh karena
itu, suatu metode yang dapat mengombinasikan keunggulan multispektral dalam
aspek warna, dengan keunggulan citra pankromatik dalam aspek kerincian
spasialnya karena resolusi spasial yang lebih tinggi dikembangkan.
Panggambungan ini menghasilkan citra multispektral yang tetap berwarna-warni
dan dipertajam secara spasial oleh citra pankromatik.
Ada beberapa macam metode
penggambungan citra multispektral dan pankromatik, namun semuanya sebenarnya
bertumpu pada metode berbasis aljabar citra, yang menyaratkan ko-registrasi
spasial pada semua citra masukan. Pada awalnya metode penggabungan ini hanya
diterepkan pada citra multispektral yang terdiri dari 3 saluran, untuk
dipadukan dengan 1 citra pankromatik (short, 1982).
6.3.1 metode perkalian
(multiplikatif)
Metode perkalian
(multiplikatif) merupakan metode paling sederhana. Melalu metode ini, setiap
citra saluran multispektral dikalikan dengan citra saluran pankromatik.
Perkalian ini melibatkan proses aljabar peta yang mensyaratkan ko-registrasi,
dimana citra multispektral secara otomatis di resample sehingga menghasilkan
citra baru yang merupakan kombinasi citra masing-masing saluran multispektral
dengan pankromatik. Yang julat nilai pixelnya diskalakan menjadi ke 0-225.
Penyusunan citra komposit dilakukan dengan menggunakan masukan setiap saluran
spektral baru, yang telah terkombinasi dengan citra pankromatik.
Kelemahan utama metode
multiplikatif adalah ketidakmampuan untuk mempertahankan untuk mempertahankan
aspek radiaometri multispektral. Miskipun demikian, banyak kasus dalam
menggunakan metode ini masih mampu menonjolkan kenampakan yang terkait dengan
fenomena kekotaan. Karena adanya peningkatan intensitas sebagai hasil dari
operasi lain.
6.3.2 METODE TRANSFORMASI
BROVEY
Merupakan metode yang paling populer untuk
memedukan dua macam citra yang berbeda resolusi spasial. Transformasi brovey
mengubah nilai spektral asli pada setiap saluran multi spektral, katakanlah
berkode saluran merah (M), hijau (H), biru (B). menjadi saluran-saluran baru
(MP, BP,HP) yang masing-masing telah diperinci secara spasial oleh citra
pankromatik dan di normalisasikan nilai kecerahannya dengan mempertimbangkannya
nilai-nilai pada saluran lainnya. Rumusnya adalah sebagai berikut (short 1982,
vrabel 1996).
Melalui metode ini secara
otomatis ketiga saluran spektral M,H dan B akan di resample ke ukuran pixel
saluran P, baik menggunakan nearest neighbour, bi-linear, ataupun cubic
convolution.
6.3.3 METODE GRAN-SCHIDT
Metode ini digunakan oleh
perangkat lunak ENVI, tetapi juga digunakan oleh perangkat lunak IDRISI dengan
nama lain, yaitu transformasi regresi lokal. Liu dan mason (2009) menamakannyamodulisasi
intensitas berbasis filter penghalusan, serta menjadi dasar bagi penjelasan
berikut ini. Dengan demikian, istilah gram-schmidt, tranformasi regresi lokal
dan SFIM sebenarnya mengacu ke metode yang sama, yang bertumpu pada hasil penelitian
price (1999).
Metode SFIM dikembangkan
berdasarkan alasn bahwa fusi citra multi resolusi, misalnya transformasi HIS
dan brovey, dapat menyebabkan distorsi warna apabila julat spektral dari citra
pengganti intensitas yang biasanya diwakili oleh citra penkromatik beresolusi
tinggi, berbeda dari ketiga saluran multispektral yang akan diperbaiki tampilan
spasialnya. Masalah semacam ini akan semakin menonjol ketika kedua macam tidak
diperoleh pada tanggal yang sama. Tampilan yang sangat mengganggu ini biasanya
muncul pada wilayah bervegetasi karena adanya perbedaan masa tanam di wilayah
pertanian.
Secara garis besar,
penajaman spektral SFIM melibatkan empat langkah berikut. Pertama,, melakukan
simulasi saluran pankromatik resolusi tinggi berdasarkan saluran multispektral
dengan resolusi spasial lebih rendah, transformasi gram-schmidt diterapkan pada
saluran pankromatik hasil simulasi dan saluran multispektral, dimana saluran
pankromatik hasil simulasi siperlakukan sebagai saluran pertama. Ketiga,
saluran pankromatik resolusi tinggi yang asli kemudian digantikan oleh saluran
gram-schmidt hasil simulasi. Ke empat, transformasi gram schmidt dabalik untuk
diterapkan, membentuk saluran-saluran multispektral yang dipertajam dengan
saluran pankromatik.
Model SFIM atau gram
schmidt dilandasi oleh model radiasi matahari. Mengacu ke penjelasan liu dan
mason (2009), nilai pixel suatu citra optik yang diambil di siang hari
ditentukan oleh dua faktor, yaitu radiasi sinar matahari yang mengenai
permukaan bumi, yaitu irradiansi, dan pantulan dari permukaan bumi.
Apabila BV mewakili nilai
pixel citra rendah berolusi lebih rendah dan mewakili nilai pixel citra
berolusi lebih tinggi. Maka ko-regrestrasi citra resolusi rendah mengacu ke
citra resolusi tinggi akan menyebabkan setiap pixel pada citra resolusi rendah
harus diperbesar sekian kali, sesuai dengan rasio antar kedua macam resolusi.
Misalnya, resolusi rendah adalah 20 m dan resolusi tinggi adalah 10 m maka
rasio kedua adalah 20:10=2 (artinya setiap satu pixel resolusi rendah memuat
2x2=4 pixel resolusi tinggi).
Dalam model SFIM
diperlukan simulasi citra resolusi tinggi dengan niali pixel BV yang digunakan
nilai rerata pada ke empat nilai pixel asli BV. Satu nilai baru yang
menggantikan ke empat nilai pixel resolusi rendah ini diperlu didefinisikan
dengan menggunakan prisip rerata lokal yang memperhatikan ke empat pixel
resolusi tinggi yang menyusun satu pixel resolusi rendah.
Nilai pixel pada citra SFIM
didefinisikan sebagai;
Dari perspektif model radiasi mataharii,
irradiansi yang mengenai permukaan bumi dikontrol oleh topografi. Apabila dua
macam citra dikuantifikasikan pada satu resolusi spasial, karena keduanya
bervariasi sebagai efek dari kontrlo topografi yang serupa. Selanjutnya p
rendah= p tinggi apabila tiadak ada variasi spektral signifikan pada
pixel-pixel pengyusun BV. Dengan demikian dalam persamaan
E rendah dan E rendah akan saling meniadakan,
sementara p rendah dan p tinggi juga saling meniadakan. E tinggi dapat
digantikan oleh E tinggi akhir, rumus diatas bisa digantikan oleh rumus yang
lebih sederhana sebagai berikut;
Dimana citra resolusi rendah adalah saluran
tertentu beresolusi lebih rendah yang di registrasikan keseluruh dengan
resolusi spasial lebih tinggi. Citra rerata lokal adalah saluran baru yang
diperoleh degan cara menerapkan pemfilteran rerata=nilai rasio antara resolusi
tinggi terhadap resolusi rendah, misalnya 20 m terhadap 10 m memberikan rasio
2, dan ukuran filter menjadi 2x2. Cara menerapkan pemfilteran bisa dibaca di
sub bab 6.4.
Dimana tiga saluran rendah adalah saluran
tertentu beresolusi yang akan diberi merah, hijau dan biru melalui fusi dengan
saluran pankromatik, maka rumus di atas menjadi;
Miskipun liu dan mason
(2009) menegaskan bahwa model SFIM inimampu mempertahankan aspek spektral dalam
fusi citra multiresolusi, ada juga kelemahannya yang sangat dipengaruhi oleh
akurasi geometri. Kelemahan ini muncul ketika citra multispektral resolusi
rendah tidak teregistrasi atau terkoreksi geometri dengan baik, mengacu ke
citra berresolusi lebih tinggi, maka pergeseran posisi ini akan muncul dalam
bentuk gangguan warna.
6.3.4 METODE PRINCIPAL
COMPONENT
Metode penajaman spasial
melaui fusi citra multispektral dengan citra pankromatik juga dapat dilakukan
dengan metode principical component analisis (PCA). PCA merupakan suatu
analisis data multispektral dengan jumlah saluran relatif banyak, untuk
menghasilkan citra baru dengan jumlah saluran yang lebih sedikit, kandungan
informasi yang dimilikinya mewakili sebagian besar infoermasi dari citra
saluran-saluran asli. Saluran baru berupa citra PCI hasil transformasi PCA
citra lansat ETM+ misalnya, bisa memuat hingga 83% dari total informasi ke enam
saluran. PC2 bisa mencapai hingga 14 %, dan presentase ini akan semakin sedikit
pada PC-PC berikutnya. Pembahasan lebih lanjut untuk PCA bisa dibaca pada bab 7
dan sub bab 7.5.
Penggunaan teknik PCA
untuk fusi dua macam citra berbeda resolusi spasial dan spektral, mengikuti
langkah-langkah berikut. Pertama, citra multi spektral ditransformasi dengan
PCA sehingga menghasilkan citra baru dengan nama PC1,PC2,PC3 dan seterusnya.
Berangkat dari asumsi bahwa citra PG1 mewakili sebagian besar informasi
pada saluran multispektral asli dan bahwa PC1 tersebut hanya mengandung
iluminasi scene total, sementara variasi antar saluran di kandung oleh PC-PC yang
lain (welch dan ehlers, 1987; bretschneirder dan kao, 2000).
Gambar
66. Contoh tampilan di perangkat lunak ERDAS Imagine yang menyediakan
menu penajaman spasial melalui fusi data multiresolusi
Kedua
, citra PC1 kemudian di ganti oleh citra pangkromatik resolusi tinggi melalui
prosesre – mappingjulat numerik citra pangkromatik agar sama dengan
julat numerik PC1.Ketiga, setelah himpunan data PC berganti anggota , dimana
PC1 digantikan oleh citra Pangkromatik resolusi tinggi maka seluruh
PC dalam satu himpunan data PCA itu di resample ke resolusi
tinggi, mengikuti citra pangkromatiknya , keempat seluruh data PC dalam satu
himpunan di transformasi kembali (inversely transformed) untuk
menghasilkan kembali citra saluran – saluran multispektral penyusunnya, namun
masing – masing saluran sudah memuat informasi intensitas dan resolusi
spasial citra pangkromatik.
6.3.5.
Metode Normalisasi Warna ( CN )
Penajaman
spektral dengan metode normalisasi warna (Colour Sharpening atau Colour
Normalization,CN ) sebenarnya merupakan perluasan dari
metode Brovey. Perluasan ini terletak pada kemampuannya melibatkan lebih dari
tiga saluran. Jadi dengan kata lain, CN mampu mentransformasi
&mempertajam saluran multispektral dengan jumlah berapa pun untuk di
padukan dengan citra pangkromatik dengan resolusi spasial yang lebih tingggi.
Algoritma yang ada pada CN mampu mempertahankan tipe data pada citra masukan
beserta julat spektralnya. CN juga dapat diterapkan pada citra hiperspektral
untuk di pertajam dengan citra multispektral beresolusi spasial lebih tinggi.
Penajaman
spektral dengan metode CN juga di sebut energy subdivision
transform karena menggunakan penajaman spasial citra multispektral
berdasarkan citra dengan resolusi spasial tinggi namun sekaligus memiliki
resolusi spektral rendah . julat spektral citra resolusi spektral rendah (
lebar) yang di gunakan harus mencakup seluruh julat spektral saluran – saluran
citra spasial rendah yang akan di pertajam secara spasial. Apabila terdapat
saluran – saluran spektral di luar julat minimum – maksimum citra resolusi
spasial tinggi maka saluran akan tetap tak berubah ( tak di pertajam ). Julat
spektral citra yang digunakan untuk mempertajam di definisikan dengan pusat
panjang gelombang dan nilai minimum setengah lebar spektral penuh.Data
semacam ini di asumsikan sudah ada di headercitranya & masing – masing citra masukan sudah di definisikan lebar
spektral maupun pusat nilai panjang gelombangnya.
Dalam
proses spasial melalui CN ini , semua saluran masukan di kelompokan ke
dalam segmen – segmen spektral yang didefinisikan oleh julat spektral beresolusi
tinggi dan hasilnya di normalisasi yaitu di bagi dengan jumlah total citra
masukan yang termasuk dalam segmen.
Rumus
CN adalah sebagai berikut ( Liu & Mason , 2009
6.4.
PEMFILTERAN SPASIAL
Pemfilteran
( spatial filtering ) sebenarnya merupakan kelompok operasi
tersendiri dan bukan hanya penajaman, Swain & Davis (1978) memberikan
batasan filter sebagai mekanisme yang dapat mengubah sinyal – sinyal
optis,elektronis ataupun digital, sesuai dengan kriteria tertentu lebih lanjut,
keduanya menyatakan bahwa pemfilteran adalah suatu cara untuk ekstrasi bagian
data tertentu dari suatu himpunan data , dengan menghilangkan bagian – bagian
data yang tidak di inginkan .
Perlu
ditegaskan bahwa pengertian filter dalam pengolahancitra berbeda dengan
pengertian filter dalam fotografi. Persaman mendasar keduanya hanya terletak
pada kemampuan untuk ‘menyaring’ atau menapis informasi sehingga
menghasilkan informasi selektif yang tak dapat dilihat pada kondisi biasa.
Filter fotografi yang lebih dikenal sebagai filter optis mampu
menapis beberapa spektrum panjang gelombang dan juga melanjutkan spektrum
tertentu. Filter dalam pengolahan citra ( secara khusus di sebut filter
digital) dirancang untuk ‘menyaring’ infor-masi spektral sehingga menghasilkan
citra baru yang mempunyai variasi nilai spektral yang berbeda dari citra asli.
6.4.
1 Filter Konvolusi dengan Jendela Bergerak
Berbeda
halnya dengan teknik penajaman kontras , operasi pemfilteran diterapkan dengan
mempertimbangkan nilai piksel yang bertetangga. Oleh karena itu , teknik
pemfilteran lebih sering di sebut sebagai operasi lokal (local operation),
sedangkan teknik penajaman yang lain di sebut operasi titik (point operation)
(Galtier, 1989). Operasi lokal ini dapat dilakukan dengan menerapkan
alogaritma moving window ,Jendela yang dimaksud disini adalah
matriks, biasanya 3 x 3 atau 5 x 5 , 7 x 7 dan seterusnya, yang dioperasikan
terhadap matriks total ( i baris x j kolom citra ), melaui algoritma tertentu
sehingga menghasilkan nilai baru pada posisi nilai piksel pusat.
Nilai baru ini menggantikan nilai lama . setelah itu , jendela di geser lagi ke
posisi berikutnya ( ke kanan ) sampai satu baris selesai , dan di lanjutkan
lagi ke baris selanjutnya sampai seluruh citra selesai di hitung.
Tiap
jendela matriks mempunyai nilai atau bobot sendiri , begitu pula algoritmanya,
khususnya untuk jendela yang berbentuk 3 x 1 ataupun 2 x 2. Dalam paket program
pengolahan citra, penyusunya jendela matriks ini dapat sangat interaktif
sehingga pengguna dapat mengisikan nilai sesuai dengan keinginan ke dalam tiap
sel matriks tersebut.
Terdapat
bermacam macam filter digital , tetapi dalam konteks penajaman citra terdapat
duamacam filter utama , yaitu filter high–pass dan fiter low-pass,
Keduanya menghasilkan efek yang berlawanan. Fiter high-pass menghasilkan
citradengan variasi nilai kecerahan yang besar dari piksel ke piksel ,
sedangkan fiter low-pass justru berfungsi sebaliknya. Di samping itu,
masih lagi kategori filter lain , yang tidak akan di uraikan disini secara
panjang lebar.
Untuk
membahas filter, terlebih dahulu kita ketahui pengertian frekuensi nilai
keceraha. Bila kita membuat penampang melintang diatas sebuah citra digital,
kitaakan memperoleh informasi nilai kecerahan (BV) dari suatu piksel ke piksel
berikutnya . semvkin besar variasi nilai dari suatun piksel ke piksel
selanjutnya , di katakan semakin tinggi frekuensinya ( lihat gambar 6.8 dan
6.9).
Penggunaan
filter high-pass ialah untuk menaikan frekuensi ini sehingga
batas satu bentuk dengan bentuk lain menjadi semakin tajam. Penggunaan
filter low-passadalah untuk menghasilkan efek kebalikannya : batas
suatu bentuk ke bentuk lain menjadi kabur sehingga terkesan gradasi yang halus.
Gradasi yang halus inilah yang di sebut dengan frekuensi rendah.
1.
Penggunan Gain dan Offset
Padasetiap
matriks filter terdapat koefisien Ci yang dapatdi ubah – ubah
oleh operator. Bagaimana kita bisa membedakan suatu filter bersifat high-pass dan
yang lain bersifat low-pass ? ada beberapa cara untuk
melakukan hal tersebut, namun berikut ini hanya di jelaskan salah satu cara
yang paling sederana , yaitu pengunaan gain dan offset.Berikut
ini di berikan
Contoh
salah satu matriks filterberukuran 3 x 3 dengan koefisien matriks Ci untuk i =
1,2,3....9,
Besarnyagain didefinisikan
sebagai :
dan
untuk mengindari nilai tak terhingga karena penyebut bernilai 0 maka program
biasanya mengatur apabila jumlah total seluruh koefisien dalam matriks bernilai
0,nilai gain diatur menjadi 1.
Matriks
ini di gunakan untuk mengubah nilai piksel pada citra, tepat yang berimpit
dengan Cs melalui perkalian nilaigain dengan
jumlah dari hasil kali setiap nilai koefisien filter Ci dengan
nilai piksel BV pada posisi yang sama pada citra :
Dimana
BVpusat_baruadalah BV5( pada posisi
kelima dalam kernel 3 x 3 ) atau BV13
(pada
posisi ketiga belas dalvm kernel 5 x 5). BesarnyaOffset bervariasi
antara 0-255, yang gunanya ialah untuk ’ menggeser’ nilai kecerahan citra
menjadi lebih tinggi. Offsetakan sangatbermanfaat apabila hasil
kali gain dengan jumlah perkalian setiap koefisien dengan nilai piksel pada
citra bernilai negatif atau sangat rendah sehingga tampak gelap pada layar
monitor.
Berdasarkan
formulasi ini , pemberian nilai koefisien yang berbeda- bedaakan
memberikan efek spasial yang berbeda pula. Misalnya, apabila semua keofisien
bernilai + 1 makaakan dihasilkan efek spasial yanb berbeda jika c5 diberi nilai
9 dan koefisien sisanya di beri -1.
2.
Filter
Low-pass
3.
Filter
ini paling sering di gunakan untuk memperhalus kenampakan citra. Biasanya
berbentuk jendela matriks 3 x 3 ataupun 5 x 5 yang tiap selnya berisi nilai
integer dengan perbedaan nilai yang tidak terlalu besar. Moving
average filteratau mean fiter menghasilkan
kenampakan halus, dimana nilai piksel yang barumerupakan rerata dari hasil kvli
tiap elemen matriks dengan nilai piksel yang dimaksud.
Bilamean
filter ini dioperasikan terhadap citraasli-hipotetik seperti diatas
maka filter ini akan mulai dari susunan piksel pojok kiri atas ( lihat gambar
). Apabila nilai offset diberi 0 maka nilai 13 sebagai nilai
asli akan tertransformasi kembali menjadi :
Nilai
28 ini adalah nilai rerata dari sembilan piksel yang bertetangga, setelah
‘menyelesaikan’ jendela ini, matriks bergeser ke jendela berikutnya,
yaitu.
13
12 20 . . . .
13
10 9 . . . .
50
50 51. . . .
Bila diperhatikan
terdapat dua gejala yang penting hasil pemfilteran dengan filter low
pass ini. Gejala pertama ialah terjadinya penghalusan
(smoothing) gradasi nilai dari satu piksel ke piksel yang lain sehingga
perubahan nilai yang mencolok dapat ditekan dengan memberikan nilai baru yang
merupakan rerata dari niali-nilai piksel tetangga. Gejala kedua yaitu pada
hasil pemfilteran terjadi penyusutan ukuran asli citra, dari m kolom x n baris
menjadi m-2 kolom x n-2 baris untuk filter berukuran 3x3; m-4 kolom x n-4 baris
, untuk 5x5; dan seterusnya. Untuk menghindari penyusutan ukuran citra yang
terfilter; biasanya pada program pemfilteran ditambahkan suatu algoritma
penyalinan baris-baris kedua dari atas dan kedua dari bawah untuk mengganti
baris –baris yang hilang, yaitu baris teratas dan terbawah. Hal yang sama
diterapkan pada kolom-kolom yang hilang sehingga ukuran citra terfilter menjadi
sama dengan ukuran citra asli.
Karena efeknya yang
menghaluskan citra, algoritma pemfilteran ini disebut juga sebagai algoritma
smoothing(penghalusan). Algoritma smoothing yang lain ialah menggunakan filter
semacam ini:
3. filter high-pass
Filter high-pass biasa
digunakan untuk menonjolkan perbedaan antara objek ataupun perbedaan nilai,
kondisi ataupun sifat antar objek yang diwakili oleh nilai piksel. Perbedaan
ini dapat ditonjolkan melalui teknik penajaman tepi(edge enhancement) dan juga
penonjolan kenampakan linear. Penajaman tepi sangat baik untuk menyajikan
kenampakan objek yang sangat bervariasi pada citra sehingga satu sama lain
dapat dibedakan degan mudah. Filter-highpass juga diterapkan dalam penyajian
efek bayangan (shadow effect) sehingga mempermudah analisis fisiografik. Filter
high pass meliputi berbagai operasi lokal yang mempertajam kesan. Namun dapat
dikelompokan menjadi tiga. Perhatikan pembahasan berikut.
4.Filter dengan metode
subtraksi
Prosedur penurunan citra
baru melalui filter high pass pengurangan (subtraksi) ini dapat dibagi menjadi
dua langkah. Pertama penghitungan nilai baru dengan menggunakan algoritma
moving average berdasarkan definisi matriks filternya. Kedua citra high pass
diperoleh dari pengurangan citra asli dengan citra moving average nya
(shresta,1991).
5.filter gradient
Pada tipe filter gradien
,perbedaan intensitas atau nilai kecerahan dapat dihitung pada arah sumbu x dan
y . perbedaan ke arah x dapat di hitung sebagai berikut:
Pemfilteran ini dapat
pula diterapkan untuk pembuatan model tiga dimensi dengan DTM . berbeda dengan
filter-filter yang telah diuraikan terdahulu, filter arah (directional filter)
ini di terapkan pada data digital hasil interpolasi kuntur. Citra kontur hasil
intelpolasi garis-garis isoline dipandang sebagai citra intensitas dan difilter
sehingga menghasilkan dua citra turunan (derivat) yaitu citra arah x dan citra
arah y.
Namun disamping kearah
sumbu x dan y , penajaman pun dapat diagonal melalui filter berikut:
6.filter lapalce
Filter lapalce merupakan
filter yang di dasari oleh derivatif kedua drivatif pertama memberikan gradien ,
sedangkan memberikan gradien , sedangkan derivatif kedua menghasilkan
laju perubahan gradien. Hasil berupa nilai positif menujukan penambahan
laju perubahan dan hasil nilai negatif menunjukan pengurangan laju perubahan.
Nilai 0 menunjukan sifat konstan. Bila diterapkan pada citra. Filter lapalce
ini secara langsung akan menunjukan efek yang cenderung diperhalus (smoothed).
Sedangkan bila hasil tersebut dijadikan pengurangan , efek yang dihasilkan
adalah penajaman tepi (shresta 1991).
6.4.2 filter mayoritas
Filter mayoritas pada
dasarnya bukan suatu algoritma penajaman dan tidak memberikan efek peningkatan
ketajaman seperti halnya high pass filter ini digunakan untuk memperbaiki hasil
klasifikasi multispektral melalui teknik pemfiltran mayoritas. Piksel-piksel
terasing dapat di hilangkan filter mayoritas dirancang berdasarkan suatu asumsi
bahwa fenomena geografis bersifat keruangan.
6.4.3 filter tekstur
Penggunaan metode jendela
bergerak juga dapat diterapkan untuk mengubah informasi pada suatu citra
sehingga menonjolkan kenampakan teksturnya . tekstur adalah frekuensi perubahan
rona dalam ruang pada tingkat resolusi terkecil yang dapat di amati secara
visual. Pada suatu area tertentu , suatu kenampakan dapat dikatakan bertekstur
halus kalau laju perubahan rrona yang ada relatif kecil. Sebaliknya tekstur
dikatakan kasar apabila laju perubahan rona dalam ruang observasi juga besar serta
bersifat tidak gradual.
Apabila cara
berpikir diterpakan pada citra pengindraan jauh maka bisa dikatakan bahwa
semakin homogen nilai pikselnya, atau semakin halus pula teksturnya. Begitu
pula sebaliknya. Penilaina kuantitatif tekstur dengan demikian dapat dilakukan
dengan memperhatikan piksel-piksel yang bertetangga pada suatu ukuran area
observasi tertentu.
Mekanisme jendela
bergerak pada filter tekstur pada dasarnya sama dengan filter-filter lain.
Perbedaanya terletak pada cara komputasi piksel-piksel yang berdampingan dalam
jendela tersebut. Mengingat bahwa kenampakan tekstural berkaitan dengan
frekuensi perubahan rona-rona piksel-piksel tersebut dan frekuensi perubahan
rona juga pada dasarnya terkait dengan beberapa parameter statistik seperti
misalnya simpangan baku,variansi dan julat minimum –maksimum maka setiap
kelompok piksel pada ukuran jendela tertentu dapat dihitung parameternya
statistiknya dan nilai hasil hasil komputasi ini ditempatkan pada piksel pusat
jendela.
Beberapa perangkat lunak
seperti ENVI dan ERDAS imagine menggunakan simpangan baku,rerata, variasi,
julat minimum-mkasimum dan juga entropi untuk menyatakan ukuran teksturnya,
pada umumnya semakin kecil nilai hasil komputasinya, semakin halus pula
teksturnya. Melalui proses pemfilteran sepaerti ini, kenampakan wilayah urban
akan cenderung menunjukan nilai tekstural yang lebih tinggi dibandingkan dengan
wilayah rural. Khususnya apabila citra beresolusi spasial sekitar 20-50 meter
digunakan untuk analisis.
6.4.4 Agregasi tekstural
Cara komputasi statistik untuk menonjolkan
aspek tekstural tertentu dapat diadopsi melalui proses agregasi, yang
memberikan efek penurunan resolusi spasial. Danoedoro (2005) menerapkan
agregasi tekstural citra pankromatik quickbird dan landsat ETM+, yang masing-masing
bresolusi spasial 0,6m dan 15m menjadi citra baru beresolusi 2,4m dan 3m yang
pada dasarnya setara dengan citra multispektral untuk sensor yang sama. Prinsip
agregasi ini adalah mengelompokan piksel-piksel resolusi spasial tinggi kedalam
satu piksel beresolusi spasial.
Gambar 6.14 Metode agregasi tekstural yang memberikan efek penurunan
resolusis pasial (Danoedoro, 2006)
Dengan cara ini, setiap
4x4 piksel resolusi 0,6m dijadikan satu piksel baru beresolusi 2,4m, di mana
nilai barunya bias diperoleh dari perhitungan rerata, simpangan baku, ataupun
variasi dari kelompok piksel penyusunannya. Begitu pula halnya dengan setiap
2x2 piksel citra pankromatik langsat ETM+ yang diturunkan resolusinya menjadi
30m, dengan nilai piksel baru yang merepresentasikan parameter statistic
tertentu. Informasi tekstur alse macam ini dapat dimanfaatkan untuk
mengintegrasikan data pankromatik berusolusi spasial tinggi dengan data
multispectral sensor yang sama dalam suatu klasifikasi multispectral sensor
yang sama dalam suatu klasifikasi multispectral.
6.5 APLIKASI TEKNIK
PEMFILTERAN DALAM STUDI PENGINDRAAN JAUH
Apabila utama teknik
pemfilteran dalam pengindraan jauh ialah untuk pengenalan pola (pattern
recognition), khususnya polas pasial objek. Banyak penelitian menggunakan
teknik – teknik pemfilteran untuk menonjolkan jenis –jenis batuana taulit
ologiter tentu. Melalui teknik pemfilteran, variasi relief yang kurang jelas
pada citra asli dapat ditonjolkan sehingga topografi suatu bentuk lahan tertentu
dapat dibedakan dari yang lain secara lebih baik. Penggunaan teknik shadow
filter dapat menonjolkan perbedaan topografi perbukitan karst dari
perbukitan batu pasir terkikis sedang karena efek simulasi bayangan yang di
timbulkan mampu menonjolkan perbedaan bentuk kubah dan igir yang cenderung
membulat.
Penggunaan filter Laplace mampu
menonjolkan kenampakan kekar (joint) pada batuan dan juga kelurusan (lineament)
sehingga sangat membantu dalam proses identifikasi batuan untuk pemetaan
geologi atau heomorfologi. Filter serupa juga dapat diterapkan untuk studi
kekotaan dengan menggunakan citra resolusit inngi, misalnya SPO-5 pankromatik
ataupun Quickbird (0,6m – 2,4m), sehingga jaringan jalan dapat diperjelas;
begitu pula blok – blok bangunan yang bentuk, ukuran, pola, dan situasinya
dapat membantu dalam pengenalan kelas – kelas pemukiman kota.
Perpanduan teknik
pemfilteran, penajaman kontras dan penyusunan komposit yang tepat akan sangat
membantu dalam memperbaiki kualitas citra yang akan di interprestasi
secara visual. Bila citra komposit hasil perpaduan saluran – saluran asli yang
telah di filter hendak digunakan sebagai media pengambilan sampel, meksipun
saluran – saluran asli tetap dipakai sebagai masukan, diperlukan kehati –
hatian dalam menilai variabilitas spectral objek yang hendak diambil sebagai
sampel. Hal ini mudah dimengerti ,mengingat kenampakan objek pada citra
komposit tadi merupakan hasil perpaduan saluran asli yang telah diubah
variabilitas spektralnya.
GAMBAR 2 PART 5
Gambar 6.15 Perbandingan hasil pemfilteran. Atas: citra asli Langsat TM 5,
bawah: dengan penghalusan (smoothing).
GAMBAR 3 PART 5
Gambar6.16 Perbandingan hasil pemfilteran untuk daerah muara kali wulan,
demak. Kiriatas, citra asli; kanan atas : hasil pemfilteran dengan penajaman
tepi (edge enhancement), di mana pada kernel 3x3 bagian pusat bernilai
14 dan bagian tepi semua bernilai -1. Kiri bawah, hasil pemfilteran median
dengan ukuran kernel 5x5; kanan bawah hasil pemfilteran dengan derivatif kedua
(laplace), dimana bagian pusat kernel 3x3 bernilai -4 dan seluruh
tepinya bernilai +1.
GAMBAR
4 PART 5
Gambar 6.17 Citra elevasi yang terbentuk melalui pembuatan model elevasi
digital wilayah Gunung kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Citra ini merupakan
hasil inter polasi kontur, dimana setiap nilai piksel menunjukkan elevasi dalam
meter dan tersaji pada resolusi spasial 30 meter.
Penggunaan citra yang
telah terfilter, khususnya filter – filter high-passa tau penajaman
tepi-sebagian dasar pengambilan titik-titik control untuk koreksi geometri juga
perlu di pertimbangkan secara teliti. Filter – filter tersebut di atas
cenderung memanipulasi nilai piksel untuk menonjolkan kesan visual yang lebih
baik. Ada kalanya terjadi pergeseran posisi batas objek sebagai konsekuensi
perubahan nilai; misalnya pada penerapan filter Laplace.
Pergeseransejauhsatuhinggaduapikselini, bagaimana pun juga, berpengaruh
terhadap akurasi posisi titik – titik control, yang sebenarnya berupa piksel –
piksel dengan koordinat tertentu.
GAMBAR 5 PART 5
Gambar 6.18 Gambar atas dan bawah berturut – turut menunjukkan hasil
pemfilteran citra pada Gambar 6.17 kearah sumbu x (atas) dan sumbu y (bawah),
di mana nilai piksel pada masing – masing citra itu menunjukkan nilai beda
tinggi piksel tetangganya
GAMBAR
6 PART 5
Gambar 6.19 Hasil pemfilteran shadow atau shaded relief atas
citra DEM pada Gambar 6.17. perhatikan bedanya padak esan relief dan arah
bayangan, jika dibadingkan dengan pemfilteran arah x dan y pada Gambar 6.18
Banyak penelitian mencoba
menggabungkan saluran – saluran spectral yang telah difilter tekstur sebagai
tambahan terhadap data saluran asli, untuk meningkatkan akurasi hasil
klasifikasi multispectral. Penelitian Danoedoro (2003), Chen ea al (2004)
dan puissant et al (2005), misalnya, menunjukkan bahwa filter
tekstur pada ukuran jendela 7x7 mampu meningkatkan akurasi hasil klasifikasi,
khusunya ketika pembedaan kategori penutupan dan penggunaan lahan tidak terlalu
diperhatikan dan atau proses klasifikasi mencoba menggunakan metode penanaman
sampel – sampel spectral sebagai objek penggunaan lahan secara langsung.
Penelitian Dan oedoro dan Phinn (2005) selanjutnya menunjukkan bahwa penggunaan filter tekstur untuk saluran – saluran asli justu dapat menurunkan tingkat akurasi hasil klasifikasi, ketika acuan yang digunakan berupa skema klasifikasi penutup lahan yang lebih berorientasi pada kelas – kelas spectral (bukan kategori – kategori spasial. Penelitian ini menunjukkan bahwa skema klasifikasi berperan sangat penting dalam metode dan proses penurunan informasi.
No comments:
Post a Comment