Pages

Wednesday, March 28, 2018

Lanjutan Materi 5


Lanjutan Materi 5

b.      Koreksi kemencengan

Landsat Tm dan ETM+ menceng terhadap sumbu utara-selatan bumi. Landsat 1-3 mempunyai inklinasi sebesar 99,09o, sementara Landsat 4-5 dan 7 mempunyai inklinasi sebesar 98.2o, serta meningkat sejalan dengan bertambah besarnya lintang, baik utara ataupun selatan. Sudut kemencengan Ɵ pada lintang tertentu L dalam derajat dinayakan sebagai :

Dimana Ɵadalah gerak satelit di ekuator. Dengan menganggap bahwa sudut Ɵ pada sistem koordinat citra dapat dirotasi sebesar Ɵ berlawanan arah jarum jam maka baris-baris pemindaian (scanlines) dapat diputar sedemikian sehingga berorientasi arah barat-timur dengan menggunakan matriks M2 berikut :


c.       Koreksi rotasi bumi

Pada satelit mengorbit bumi dari arah utara ke selatan, satelit juga secara kontinu melakukan perekaman dengan cara memindai permukaan bumi yang ada dibawahnya. Pada saat bersamaan, bumi berputar dari barat ke timur, dengan kecepatan ‘perpindahan’ permukaan sebanding dengan posisi lintang tepat di posisi nadir satelit. Untuk mengompensasi pergeseran posisi ini maka diperlukan penentuan parameter berikut :

a.       Waktu yang diperlukan oleh sensor satelit untuk merekam citra,

b.      Kecepatan sudut rotasi bumi (ke arah timur)

Jarak yang ditempuh oleh permukaan bumi melalui proses rotasi ini dapat diperoleh dengan mengalikan waktu kecepatan tersebut. Sementara itu, waktu yang diperlukan oleh satelit untuk memindai dapt dihitung apabila jarak yang ditempuh oleh satelit dan kecepatan orbitnya diketahui. Baik jarak maupun kecepatan dinyatakan dalam ukuran sudut (angular), misalnya radian, di mana 1 rad kurang lebih sebesar 57o.

Dalam waktu 28,6 detik satelit bergerak dari pemindaian baris pertama samapi pemindaian baris terakhir atau scene. Sementara itu, bumi berputar ke arah timur. Lalu berapa banyak suatu titik ‘bergeser’ posisinya dalam hasil perekaman? Sekali lagi, hal ini tergantung paad posisi lintang L titik tersebut pada permukaan bumi. Untuk mempermudah perhitungan, diasumsikan bahwa posisi L adalah di pusat scene. Kecepatan suatu titik di permukaan bumi bergerak (VE (L) merupakan fungsi lintang L dengan rumus :

Dimana R adalah jejari bumi, yang kurang lebih sebesar 6378 km, sedangkan Eadalah kecepatan sudut bumi.
  
Mather (2004) menambahkan bahwa sejumlah piksel ditambahkan pada awal setiap baris pemindaian untuk mengompensasi efek rotasi bumi ini. Jika koreksi ini dipandang cukup maka transformasi matriks M3 dapat dihilangkann, namun juka tidak maka penambahan piksel diberikan pada header/trailer citra yang diasosiasikan dengan setiap baris pemindaian, dan mengisi piksel bila dihilangkan sehingga matriks transformasi M3 dapat diterapkan.
Ketiga matriks transformasi M1,M2,M3 tidak diterapkan secara terpisah, melainkan diterapkan sebagai ‘komposit’ matriks M, dengan cara mengalikan ketiga matriks tersebut:
M = M1 M2 M3 ...................................................... (5.8)
Transformasi geometri yang paling mendasar adalah penempatan kembali posisi piksel sedemikian rupa sehingga pada citra digital yang tertransformasi dapat dilihat gambaran objek di permukaan bumi yang terekam sensor. Pengubahan bentuk kerangka liputan dari bujuersangkar menjadi jajaran genjang merupakan hasil dari transformasi ini. Tahap ini diterpkan pada citra digital mentah (langsung hasil perekaman satelit) dan merupakan koreksi kesalahan geometri sistematik.

2.      Transformasi berdasarkan GCP

Koreksi geometri menggunakan model geometri orbital merupakan model  fisikal yang mencoba mengenali parameter-parameter penyebab kesalahan secara deduktif, kemudian direkonstruksikan. Variasi ketinggian dan sikap/posisi wahana maupun objek tidak ikut diperhitungkan dalam model fisika ini, semata-mata karena informasi yang diperlukan untuk koreksi ini tidak tersedia (Mather,2004). Oleh, karena itu muncul cara pandang yang berbeda, yang mencoba mengoreksi citra dari sudut pandang empiris, dengan cara membandingkan posisi-posisi yang berbeda pada citra dan data lapangan/peta yang sudah tersedia. Tentu saja diperlukan peta yang memadai dari sisi skala untuk keprluan ini, dan juga hasil pengukuran melalui GPS receiver yang juga layak diperbandingkan dengan resolusi spasial citranya.

a.       Koreksi Geometri dengan Rektifikasi  Citra ke Peta

Rektifikasi citra ke peta menggunakan prinsip bahwa peta mempunyai sistem proyeksi dan koordinat yang lebih besar sehingga dapat diacu oleh citra. Dalam proses ini, sistem geometri citra diubah menjadi planimerik. Segala aktivitas pemanfaatan citra yang memerlukan pengukuran jarak,arah,luas yang akurat selalu memerlukan jenis koreksi ini, meskipun demian, metode koreksi ini tidak mampu menghilangkan semua distorsi yang disebabkan oleh pergeseran relief pada citra.
Terasa kekurangannya untuk menghasilkan citra yang terproyeksikan secara ortogonal penuh, dengan menghilangkan semua distorsi (jensen, 2005), seperti pada koreksi citra resolusi spasial tinggi, misalnya ikonos, quickbird, maupun orbview.
Proses koreksi ini dimulai dengan memilih pasangan titik-titik koordinat pada citra dan pada peta berdasarkan pasangan titik-titik ini koefisien-koefisien persamaan transformasi yang digunakan untuk mengubah sistem koordinat citra ke sistem koordinat peta akan dapat ditentukan.
Pada dasarnya ada 6 macam distorsi yang dapat dimodelkan dan dikoreksi dengan transformasi geometri, yaitu;

a.       Translasi pada sumbu X,
b.      Translasi pada sumbu Y,
c.       Perubahan skala pada sumbu X,
d.      Perubahan skala pada sumbu Y,
e.       Menceng, dan
f.       Rotasi.

Apabila ke-6 distorsi akan diselesaikan sekaligus maka mereka akan dapat dikombinasikan kedalam satu ekspresi matematis, yaitu;
X = a0 + a1X’ + a2X’………………………………………………………………(5.9)
Y = b0 + b1X’ + b2X’

Dimana X dan Y merupakan posisi pada citra keluaran atau pada peta acuan proyeksi pada citra terkoreksi akan sama dengan peta acuan semantara X’ dan Y’ merupakan posisi citra sebelum terkoreksi. Jensen, (2005) menyebut transformasi ini sebagai input-to-output atau forword mapping.
Cara forward mapping ini tampaknya tidak bermasalah ketika kita mencoba untuk mentransformasikan ke titik-titik koordinat yang bersifat diskret di sepanjang kenampakan linier, misalanya jalan dan sungai  pada peta vektor. Hal ini biasa dilakukan dalam pemetaan kartografi dan sistem informasi geografis berbasis vektor. Masalah muncul ketika peta dikoreksi adalah peta grid (raster)/citra digital, diman diperlukan operasi untuk mengisi grid peta baru dengan nilai yang di peroleh dari citra/citra lama. Maslah ini terlihat pada penempatan lokasi baru yang seolah mengambang tidak tepet pada posisi grid untuk mengatasi ini, suatu interpolasi nilai diperlukan untuk mengganti nilai lama dengan memepertimbangkan nilai-nilai pixel yang ada di sekitarnya. Proses ini disebut dengan proses interpolasi nilai pixel.

Kadang-kadang kita memerlukan fungsi persamaan polinomial dengan orde yang lebih tinggi dari pada persamaan sebelumnya.orde polinom yang lebih tinggi dimaksudkan untuk menghasilkan transformasi yang lebih halus dalam arti lebih sesuai dengan bentuk distribusi nilai yang menggambarkan hubungan antara dua macam variabel, dalam hal ini koordina X dan X’ serta koordinat Y dan Y’. contohnya, jika persamaan polinomial orde 2 digunakan maka bentuk persamaan 5.10 akan berubah menjadi;

Persamaan 5.10 memerlukan 6 parameter (a0, a1, a2, b0, b1, dan b2) agar persaman tersebut dapat diselesaikan dalam arti nilai-nilai koefisien a0 hingga a2 dan bo hingga b2 dapat dihitung. Persamaan 5.11 memerlukan 12 parameter (a0, a1, a2, a3, a4, a5, a6, dan d0, d1, d2, d3, d4, d5) agar persamaan tersebut dapat di selesaikan. Secara praktis apabila, analisis menggunakan persamaan polinemal orde 1 untuk mentransformasikan koordinat citra dalam koreksi geometri maka diperlukan 6 titik kontrol, persamaan polinemial orde 3 memerlukan lebih banyak parameter, yang membawa kuenskensi pada kebutuhan akan titik kontrla yang lebih banyak agar persamaan dapat di jalankan.


Jansen (2005) juga menegaskan bahwa secara teoritis semakin tinggi orde polinomnya maka semakin dekat koefisien-koefiseien tersebut dalam memodelkan kesalahan geometri pada citra asli.

Dalam praktek, persamaan polinemeal orde 1 sudah bisa dijalankan pada citra wilayah bermedan yang relatif datar, sementara polinom orde yang lebih untuk citra yang menggambarkan kondisi wilayah yang lebih besar topografinya. Miskipun demikian, jensen juga menyatakan bahwa ada aturan utama untuk mengutamakan koreksi geometri dengan polinom orde 1 terlebih dahulu, kecuali ketika dijumapai kesalahan-kesalahan non-linear dan tak sistematik. Untuk kesalahan-kesalahan yang di sebutkan terakhir maka polinom orde yang lebih tinggi diutamakan.


a.              Akurasi hasil koreksi geometri ; RMSE

Berdasarkan pasangan koordinat antara titik kontrol lapangan dengan koordinat baru hasil estimasi, diperoleh selisih pada sepanjang sumbu X (arah timur) maupun sumbu Y (arah utara). Selisih ini dapat dihitung pada setiap titik kontrol dan juga pada hasil transformasi keseluruhan, yang memperhitungkan seluruh titik kontrol yang ada berdasarkan selisih-selisih ini kemudian dapat dihitung besarnya akurasi hasil koreksi geometri dengan rumus root mean square error (RMSE). Gambar 5.5 mengilustrasikan pelajaran ini.
Gao (2009) menjelaskan secara sederhana sebagai berikut. Pada setiap pasangan antara titik koordinat referensi dengan titik koordinat hasil estimasi diperoleh selisih yang disebut dengan rectification residual, yang jarang sekali bernilai nol. Pada suatu titik, nilai rectification residual ini bisa berbeda untuk arah X dan arah Y. untuk analisis parameter ini digunakan indikator akurasi yang disebut dengan RMSE, dimana perhitungan untuk arah X dan arah Y digunakan rumus berikut;


Dimana ;
n          = jumlah total titik kontrol lapangan yang digunakan untuk koreksi atau rectifikasi.
Ei dan Ni         = berturut-turut koordinat X dan Y, dari GGP ke-I, yang dihitung dari fungsi transformasi Fi dan F2 yang digunakan dalam rektifikasi.
dan             = koordinat referensi berturut-turut untuk X dan Y yang diperoleh dari peta topografi atau hasil pengukuran GPS dilapangan.


b.      koreksi geometri dengan rektifikasi citra ke-citra.
Koreksi geometri dengan rektifikasi dari citra ke citra merupakan suatu proses yang membandingkan titik-titik yang dapat diidentifikasi dengan mudah pada kedua citra. Retifikasi citra ke-citra tidak harus memerlukan hasil yang harus menyajikan informasi tentang koordinat yang benar-benar sesuai dengan peta. Misalnya, dua himpunan data ikonos dan quickbird pada waktu perekaman yang berbeda hendak diperbandingkan  kenampakannya, analisis perubahan penggunaan lahan.

c.       Interpolasi intensitas dalam koreksi geometri.

Berdasarkan gambar 5.3 terlihat bahwa hasil koreksi geometri akan menempatkan pixel pada matriks citra terkoreksi, namun dengan posisi koordinat yang mengambang. Posisi semacam ini membawa implikasi pada penentuan nilai pixel yang baru. Perhatikan bahwa implikasi pada penentuan nilai pixel yang baru. Perhatikan bahwa matriks atau grid dengan posisi koordinat yang bernilai bulat, tersebut juga telah ditempati oleh nilai-nilai pixel tertentu pula. Pada gambar tersebut terlihat bahwa nilai pixel 15 menempati koordinat. Ketika posisi baru harus ditentukan seperti pada gambar  5.5 menjadi X=2,4 dan Y= 2,7 maka nilai 15 perlu di evaluasi kembali dengan mempertimbangkan kedudukan/posisi baru hasil koreksi geometri dan nilai-nilai pixel yang ada di sekitarnya.
Penentuan nilai pixel yang baru berdasarkan posisi/lokasi koordinat yang baru ini merupakan suatu proses interpolasi nilai atau interpolasi intensitas. Dalam melakukan interpolasi nilai intensitas, dikenal algoritma nearest neighbour, bi-linear, serta cubic convolution masing-masing memberikan efek yang berbeda pada kenampakan citra. Algoritma nearest neigbour diterapkan dengan hanya mengambil kembali nilai dari pixel terdekat yang telah tergeser keposisi baru, algoritma bi-linear interpolition mempertimbangkan ke- 4 nilai pixel yang berdakatan, untuk kemudian dirata-rata secara proposional, sesuai dengan jaraknya terhadap posisi baru, dengan mengikuti formula berikut; 

Dimana BVwt merupakan nilai pixel baru hasil interpolasi spasial yang merupakan retata tertimbang melalui metode biliner; Zk adalah nilai pixel disekitar titik hasil penempatan posisi baru dan Dk2 adalah kuadrat jarak dari titik hasil penentuan lokasi baru yang akan ditentukan nilainya. Berdasarkan gambar 5.4 maka dapat ditentukan nilai pixel baru hasil interpolasi seperti tersaji pada tabel 5.1. algoritma cubic convolution menggunakan prinsip interpolasi nilai seperti pada algoritma bilinear interpolation, tetapi dengan mempertimbangkan nilai 16 pixel disekitarnya.

Disebutkan belakangan tentunya kurang tepat apabila diterapkan pada citra-citra saluran asli karena nilai baru hasil interpolasi tidak lagi mewakili pantulan atau pancaran spektral objek yang sebenarnya. Oleh karena itu, dua algoritma ini kurang tepat apabila deterapkan lebih sesuai untuk menerapkan resampling nilai pada citra model medan digital. Bilinear interpolation akan menghasilkan kenampakan yang jauh lebih halus daripada nearest neighbour, sedangkan cubic convolution justru akan menghasilkan citra dengan kenampakan yang tiadak terlalu diperhalus. Algoritma nearest neighbour lebih sesuai diterapkan pada citra saluran-saluran asli dan juga hasil klasifikasi, namun dengan resiko kenampakan linear yang terpatah-patah.

d.      Distribusi GCP

Distribusi spasial titik-titik kontrol lapangan atau GCP sering kali diabaikan dan analisis atau pengguna kadangkala hanya melihat nilai absolut dari RMSE-nya saja. Dari rumus-rumus yang ada, kita bisa melihatnya bahwwa sebenarnya perhitungan RMSE pada dasarnya mengabaikan distribusi titik-titiknya. Hasil RMSE yang kecil belum merupakan jaminan bagi bagusnya hasil koreksi geometri secara spasial. RMSE yang sedikit lebih besar kadang-kadang merupakan hasil yang optimal apabila kondisi medan cukup berat dan titik-titik kontrol sulit dijumpai.
Cara yang paling baik untuk mengetahui apakah suatu citra telah terkoreksi geometri dengan baik adalah dengan mengeplot peta vektor meliputi jaringan jalan, batas-batas penutup lahan, jaringan jalan dan sungai di atas citra koreksi. Apabila RMSE relatif kecil namun hasil pengeplotan fitur topografi justru memperlihatan banyaknya penyimpanan posisi penampakan hasil koreksi maka sebaiknya proses koreksi geometri perlu diulang, dengan membatalkan dan mengambil kembali titik-titik kontrol atau GCP. Gambar 5.6 memberikan panduan sederhana tentang bagaimana dan dimana dan dimana GCP diambil untuk kondisi fisiografis tertentu. 

5.2.2 koreksi/kalibrasi radiometri citra.

Koreksi radiometri diperlukan atas dasar dua alasan, yaitu untuk memperbaiki kualitas visual citra dan sekaligus memperbaiki nilai-nilai pixel yang tidak sesuai dengan nilai pantulan atau pancaran spektral objek yang sebenarnya. Koreksi radiometri citra yang ditujukan untuk memperbaiki kualitas visual citra berupa pengisian kembali baris yang kosong karena drop-out baris maupun masalah kesalahan awal pemindaian. Baris atau bagian baris yang bernilai tidak sesuai dengan yang seharusnya dikoreksi dengan mengambil nilai pixel satu baris di atas dan dibawah, kemudian dirata-ratakan (guindon, 1984, dan dalam jensen, 2005). Kereksi radiometri yang ditunjukan untuk memperbaiki nilai pixel supaya sesuai dengan yang seharusnya juga bisa dilakukan dengan mempertimbangakan faktor gangguan atmosfer sebagai sumber kesalahan utama. Pada koreksi ini, diasumsikan bahwa nilai pixel terendah pada suatu kerangka liputan seharusnya nol, sesuai dengan bit-coding sensor. Apabila nilai terendah pixel pada kerangka liputan tersebut bukan nol maka nilai penambah tersebut dipandang sebagi hasil dari hamburan atmosfer.
Dalam kenyataannya jenis dan metode koreksi radiometri sebenarnya jauh labih banyak dan lebih rumit daripada deskripsi tersebut di atas. Secara garis besar, koreksi radiometri meliputi 2 kelompok besar metode, yaitu; a, koreksi yang bertumpu pada imformasi dari dalam citra sendiri, b. koreksi yang mempertimbangkan faktor-faktor luar yang berpengaruh terhadap kesalahan informasi yang ada pada citra. Pembahasan berikut ini secara ringkas mencoba memberikan uraian tentang beberapa macam metode koreksi radiometri yang termasuk kedalam 2 kelompok besar tersebut.

I. Koreksi yang bertumpu pada informasi dalam citra
Koreksi yang termasuk kedalam kelompok ini relatif mudah dan menggunakan asumsi-asumsi yang juga sederhana. Koreksi ini meliputi; a. penyesuain histogram, b. penyesuaian regresi, c. koreksi berbasis diagram ppencar, d. kalibrasi bayangan dan kenampakan gelap.

a.     Penyesuaian histogram

Metode ini merupakan pilihan yang paling sederhana dengan hanya melihat histogram disetiap saluran secara independen. Dari histogram dapat diketahui nilai pixel terendah saluran tersebut. Asumsi yang melandasi metode ini ialah bahwa dalam proses koding digital oleh sensor, objek yang memberikan respons spektral paling lemah atau tidak memberikan respons sama sekali seharusnya bernilai 0. Apabila nilai ini ternyata >0 maka nilai tersebut dihitung sebagai offset, dan koreksi dilakukan dengan mengurang keseluruhan nilai pada saluran tersebut dengan offsetnya. Dengan kata lain , besarnya offset menunjukan besarnya pengaruh gangguan oleh atmosfer.
Metode penyesuaian histogram juga dapat diterapkan pada citra yang telah terkoreksi atau terkalibrasi kenilai pantulan yang tercatat sensor. Dengan metode ini maka histogram yang dievaluasi adalah histogram nilai pantulan pada sensor yang berupa angka pecahan. Dalam kasus ini, metodenya disebut dark ground feature subtraction untuk koreksi atmosfer sederhana.

b.      Penyesuain regresi
Penyesuaian regresi diterapkan dengan memplot nilai-nilai pixel hasil pengamatan pada beberapa saluran pada beberapa saluran sekaligus. Hal ini dapat di terapkan apabila ada saluran rujukan yang menyajikan nilai 0 untuk objek tertentu, misalnya saluran TM7 untuk air jernih, dalam dan tenang. Kemudian, setiap saluran dipasangkan dengan saluran rujukan tersebut untuk membentuk diagram pencar nilai-nilai pixel yang diamati (gambar 5.8).

Cara ini secara teoritis dapat diterima, tetapi dalam praktik sulit diterapkan karena sebenarnya gangguan etmosfer terjadi pada hampir semua spektral tampak dan pantulan. Di samping itu, tiadak semua liputan citra mempunyaii objek berupa air jernih, dala, dan tenag. Objek yang secara gradual berubah naik nilainya, pada kedua saluran sekaligus dan bukannya hanya pada salah satu saluran.

c.       Penggunaan “feature space”
Metode lain ditawarkan oleh bronsveld (1991), metode ini di mamfaatkan gambaran feature space hasil pengeplotan pixel-pixel pada saluran hijau melawan inframerah dekat dan saluran merah melawan inframerah dekat. Hasil pengeplotan keseluruhan pixel akan memberikan kenampakan imasiner berupa garis vegetasi dan garis tanah (gambar 7.2). pertemuan kedua garis ini di asumsikan harus bertemu dititk asal objek air jernih, tenang, dan dalam, atau objek bayangan lereng yang sangat curang. Apabila ternyata titik pertemuan ini tidak pada koordinat, maka nilai offset pada kedua saluran dapat dihitung (gambar 5.9). melalui cara ini akan didapatkan dua macam nilai offset untuk saluran inframerah dekat sehingga masih perlu dirata-rata. Metode serupa untuk koreksi citra karena pengaruh bayangan juga digunakan oleh adams dan gilespie (2006), dimana mereka mengamsumsikan bahwa perpotongan dua garis itu menunjukan pixel-pixel objek yang berada pada bayangan, tetapi masih memeberikan nilai pantulan karena kontribusi hamburan atmosfer.


d.      Metode kalibrasi bayangan

Gastellu-etchegorry (1998), merupakan metode kalibrasi bayangan untuk mengoreksi faktor gangguan atmosfer. Secara ringkas metode ini mempertimbangkan imbangan energi elektromagnetik yang masuk ke atmosfer bumi serta kenampakan permukaan bumi yang tertutup bayangan. Analisis irrandiasi yang dari wilayah yang tak tertutup bayangan. Akan menghasilkan nilai radiasi umbalan atmosfer ;

Dimana Et merupakan irradiansi spektral pada objek di permukaan bumi yang berasal dari matahari dan angkasa, sedangkan Es merupakan irradiansi spektral pada objek di permukaan bumi yang berasal dari matahari. Simbol-simbol lain dijelaskan berikut ini ;

Secara praktis pembacaan pasangan kelompok pixel pada wilayah yang tak tertutup awan akan memberikan nilai Eis, sedangkan nilai kelompok pixel hasil pembacaan pada wilayah yang tertutup awan memberikan nilai Eis. Pemplotan nilai Eis sumbu Y dan X memberikan persamaan regresi dan persamaan ini akan memberikan nilai parameter A alfa dan D alfa. Besarnya D alfa menunjukan besarnya bias nilai spektral pada seluruh liputan citra karena umbalan atmosfer. Nilai baru ditentukan berdasarkan pengurangan nilai pixel pada citra asli dengan nilai bias. penggunaan formulasi ini untuk koreksi radiometri citra dapat dilihat pada gastellu-etchegory (1998) atau ( 1989).
Masing-masing metode yang telah disebutkan tadi mengandung kelemahan karena mengamsumsikan faktor gangguan radiometrik bersifat linier dan seragam untuk sembarang lokasi pada lokasi pada citra. Kenyataan menunjukan bahwagangguan ini sebenarnya bervariasi dari satu tempat ke tempat lain. Di atas lahan persawahan pada pagi hari, misalnya lebih banyak dijumpai kabut tipis dibandingkan penggunaan lahan pemukiman sehingga tentunya faktor gangguan disini lebih besar. Begitu pula hhalnya dengan kondisi atmosfer pada daerah bergunung dengan elevasi tinggi, dimana faktor aerosol dalam memberikan hamburan biasanya lebih berperan. Dengan demikian, suatu liputan citra dengan kondisi medan dan penggunaan lahan yang sangat bervariasi mestinya memerlukan koreksi atas gangguan atmosfer dengan metode yang tidak sederhana seperti yang di jelaskan di atas. Apabila hal ini dipenuhi, biaya pra pemprosesan akan menjadi sangat mahal karena citra yang dihasilkan oleh proses koreksi merupakan citra yang masih harus diproses lanjut, baik melaui proses penajaman, pemfilteran, klasifikasi multispektral, maupun tranformasi khusus. Oleh karena itu, para pengguna citra digital memilih metode yang relatif mudah dan penerapannya tranformasi nilai pixel menjadi informasi tematik melaui pengombinasian teknik pengolahan citra dengan sistem informasi geografis.

e.       Kalibrasi relatif antarcitra

Kadang kala suatu penelitian pengindraan jauh memerlukan data multitemporal, bahkan bukan hanya dua atau tiga tanggal melainkan bisa lebih dari itu. Analisis spektral citra memerlukan informasi lengkap mengenai paremeter-paraneter radiometri sensor dan saat perekaman. Sayangnya, data semacam itu belum tentu tersedia secara lengkap. Salah satu alternaytif penyelesain agar analisis multitemporal dan juga analisis multidata yang melibatkan dua macam citra digital dari sensor yang berbeda-beda dijalankan dengan menggunakan basis informasi spektral adalah kalibrasi relatif.
Kalibrasi relatif merupakan proses pengubahan nilai pixel dari satu beberapa data digital citra. Dengan mengacu pada nilai pixel untuk objek yang sama pada citra yang sama pada citra yang berbeda, baik yang di hasilkan pada waktu yang berbeda. Kalibrasi di perlukan karena nilai pixxel yang sama pada 2 saluran yang sama, namun diperoleh pada waktu ataupun  oleh sensor yang berbeda, belum tentu menunjukan objek yang sama. Begitu pula sebaliknya, objek yang sama pada saluran yang sama, namun direkam. Pada waktu yang berbeda atau oleh sensor yang berbeda, belum tentu menunjukan nilai yang sama pula, (gambar 5.10 ) menjelaskan hal ini.

2. Kalibrasi dengan data dari luar citra

Penggunaan metode-metode koreksi atau kalibrasi yang telah di jelaskan bagian terdahulu kadang-kadang masih menyisakan masalah. Misalnya, pengkaitan antara suatu nilai piksel (respon spektral) dengan nilai atau kondisi biofisik tertentu kadang kala menuntut informasi yang lebih akurat. Sebelum bercampur dengan tambahan informasi spektral dari radiansi atmosfer (path radiance). Kebutuhan semacam ini semakin terasa ketika data nilai spektral citra perlu dibandingkan dengan data hasil pengukuran radiansi spektral dilapangan.
Informasi spektral yang sampai ke sensor pada dasarnya telah bercampur dengan informasi spektral dari partikel atmosfer. Pada wilayah perairan, atenuasi (pelemahan energi elektromagnetik setelah menempuh perjalanan dengan kerapatan massa tertentu) ini juga terkait dengan ketebalan kolom air; sementara pada daratan kondisi kepadatan partikel atmosfer akan sangat berpengaruh. Perbedaan sudut iluminasi dan adanya bayangan juga menyebabkan besaran pantulan objek sama namun terletak pada posisi yang berbeda (misalnya) posisi yang terluminasi sinar matahari dan pada posisi bayangan. Untuk mengoreksi pengaruh-pengaruh semacam itu, koreksi atau kalibrasi absolut yang diperlukan.
Secara ringkas , mather (2004) menyatakan bahwa ada lima faktor yang berpengaruh terhadap sinyal yang diterima dari objek (dan dicatat) oleh detektor pada sensor , yaitu:
1.      Pantulan atau reflektansi objek
2.      Bentuk dan besaran interaksi atmosfer
3.      Kemiringan dan arah hadap lereng (aspect) tempat objek berada relatif terhadap azimut matahari
4.      Sudut pandang sensor
5.      Sudut ketinggian matahari

Kalibrasi atau koreksi radiometri dengan menggunakan data dari  luar citra bisa di kelompokan menjadi dua yaitu ;
         Kalibrasi berbasis data empiris melalui pendekatan statistik
         Kalibrasi melalui pemodelan fisikal

a.     Kalibrasi berbasis data empiris : penyesuaian regresi berbasis data spektral lapangan

Teknik koreksi radiometri dengan menggunakan data empiris hasil pengukuran lapangan juga bisa diterapkan dengan penysuaian regresi (gambar 5.11)

Untuk menerapkan koreksi maka dua jenis objek dipilih secara cermat, dimana masing –masing memiliki objek barona gelap dan objek barona cerah dilapangan. Tentu saja pilihan gelap terang ini harus mengacu pada wilayah panjang gelombang saluran yang akan dikoreksi 


b. Landsat enhanced thermatic Mopper plus(ETM+)

et al. (1986 1990) dan kemudian diperbaiki menjaddi model 6s (second simulation of the sensor signal in the solar spectrum) (vermote et.al 1997). Model-model ini mampu mensimulasikan permukaan non-Lambertian untuk memodelkan sinyal yang diukur oleh sensor. Tso and mather (2009) menyebutkan bahwa model 6s juga melibatkan data untuk perhitungan absorbsi atmosfer menggunakan nilai yang meningkat untuk gas-gas atmosfer. Dalam model ini , ada asumsi bahwa satu paket irradiansi matahari utuh datang mencapai bagian teratas atmosfer sebagian dari iradiansi yang datang kemudian di hamburkan disepanjang jalur antara matahari dan objek dipermukaan bumi ke atmosfer,sementara sisanya mampu mencapai objek target di bumi sebagagiradiasi matahari langsung.

Dimana T adalah kedalaman optis 0s adalah unitzenit matahari. Sementara itu ,sebagian dari sinar matahari yang dihamburkan ke atmosfer juga memberikan sumbangan iluminasipada terget objek di permukaa bumi. Apabila hal ini bisa dipandang sebagaipantulan baur bagi atmosfer (difusse skylight).dengan notasi 0d maka konstribusinya terhadap transmintasi atmosfer T0sdirumuskan sebagagi berikut:

Disamping itu, ada juga kontribusi hamburan yang perlu diperitimbangkan, yaitu sibuk dengan mekanisme jebakan(trapping mechansime) (tso dan mather,2009).
Dengan demikian,iluminasi pada target di permukaan bumi menjadi:

Dan prpoporsi  sinar matahari yang dipantulkan dari target dipermukaan menjadi :

Karena sensor menerima refelektansi dari dua macam sumber, yaitu(a) kontribusi dari radiasi matahari keseluruhan yang diberikan oleh target dipermukaan bumiddan langsung di transmisikan dari permukaan objek ke sensor (b) sumbangan dari objek disekitar target yang dihamburkandi sekitar medan padang sensor,maka rumus sebelumnya menjadi:

Dimana 0v adalah sudut pandang sensor
Dengan demikian, rumus  ddapat dituliskan sebagai berikut:

Pantulan (reflektansi) yang tercatat oleh sensor( apparentreflectance)P* adalah:

Persamaan ini merupakan persamaan linier yang secara spesifik menunjukan hubung anantara apparent reflectance p* dan pantulan. Selanjutnya, adanyainteraksi atmosfer yang kedua, yaitu proses serapan, perlu dipertimbangkan. Pada spektrumoptik dari matahari penyerapan atau absorbsi oleh gas-gas di atmosfer pada dasarnya dengan keberadaan ozon,oksigen,uap air dsn karbon dioksida. Jika Tg(()s 0v) menyatakan transmintasi gas di atmosfer setelah mengalami absorsi maka persamaan diatasmenjadi:

Dengan kata lain, apparent reflectance p* (yang tercatat oleh sensor ) diketahui ,albedo sferis S juga diketahui , dan koefisien Aserta B juga diketahui, maka besarnya pantulan target objek target objek dipermukaan bumi ps dapat di hitung.
e.kalibrasi sensor : Pantulan yang diterima sensor (At-sensor Reflectance)
Hasil kalibrasi sensor untuk memperoleh nilai radiasi spektral. Sebenarnya adalah nilai energi yang dicatat oleh sensor (apparance radiance) yang merupakan kombinasi pantulanobjek di tambah gangguan atmosfer yang sampai ke sensor. Untuk menekan pengaruh gangguan atmosfer maka rumus perhitungan pantulan pada permukaan objek berikut bisa di gunakan:

Mather (2004) menyebutkan bahwa faktor koreksi untuk d diperlukan karena terdapat variasi radiansi spektral sehingga 3,5% dalam setahun nilai d bisa dihitung dengan rumus berikut:

f. kalibrasi berbasis model transfer radiasi (radiative transfer model)

kebanyakan metode koreksi atau kalibrasi citra dilakukan secara manual dalam arti perangkat lunak menyediakan semacam image calculatoryang secara fleksibel dapat dimanfaatkan berbagai operasi matematis dengan memasukan nama berkas citra.
Algoritma model transfer radiasi citra untuk koreksi pengaruhatmosfer dapat melakukan hal sepertitelah dijelaskan sebelumnya, beberapa informasi umum yang diperlukan oleh algoritma-algoritma koreksi atmosfer berbasis transfer radiasi misalnya:

         Posisi lintang-bujurliputan citra
         Tanggal dan waktu rinci perekaman
         Ketinggian perekaman diatas permukaan medan
         Elavasi rerata liputan citra
         Model atmosfer, misalnya wilayah tropis, lintang sedang dimusim panas, dan musim dingin
         Data radiansi spektral citra yang telah dikalibrasi secara radiometri
         Informasi tentang setiap saluran secara spesifik
         Kejernihan atmosfer setempat
Berdasarkan informasi tersebut maka program akan melakukan komputasi karakteristik serapan dan hambatan pada perekaman data.
Beberapa rumus untuk model-model tansfer  radiasi disajikan secara ringkas berikut ini,berdasarkan deskripsi dari jansen(2005).
1.  ACORN(AtmosphericCorrection Now) program ini menggunakan kode transfer radiasi MODTRAN-4. Total radiansi spektral yang diukur oleh sensor Ls dapat dirumuskan sebagai berikut:

Apabila semua parameter yang dilibatkan telah diturunkan maka pantulan yang telah diskalakan dapat dikomputasi dengan rumus sebagai berikut:

2. ATREM( The atmospheric removal program ) yang dkembangkan oleh cebter for the study of earth from space (CSES), universtas Colorado. ATREM mempertimbangkan jumlah hamburan Rauleigh yang masih ada dalam model 6s serta model aerosol yang di spesifikasin oleh pengguna.
3. FLAASH(Fast line-of-sightAtmosphericanalysis of spectral Hypercubes) dikembangkan di perangkat lunak ENVI, oleh spectral sciencesinc. Program FLAASH mengoreksi citra dengan cara menggunakan menghilangkan efek uap air, oksigen, karbon dioksida, metanan , ozon dan hambatan hamburanmolekural maupan aerosol berdasarkan kode transfer radiasi MODTRAN4, koreksi ini di terapkan pada setiap piksel. Citra ini juga menghaasilkan citra uap air, citra awan, dan nilai untuk kejernihan pandang.(visibility)
4. ATCOR(atmospheric correction / pada awalnya dikembangkan di jerman . ATCOR terdiri dari tiga modul , yaitu ATCOR2 untuk medan datar,ATCOR3 untuk medan yang kasar ,dan ATCOR4 untuk citra yang diperoleh dari sistem pengindraan jauh sub orbital.koreksi atmosfer yang diterapkan pada algoritma-algoritma ini juga memanfaatkan kode transfer radiasi pada MODTRAN 4+ untuk mengalkulasi lookup table (LUT).

Fungsi-fungsi koreksi atmosfer yaitu radiansi jalur (path radiance) ,transmintasi atmosfer,fluks matahari secara langsung maupun baur(diffuse) , fungsi-fungsi koreksi tersebut tergantung pada sudut pemindaian , sudut relatif azimut yang terbentuk oleh baris pemindaian dan azimut matahari., serta ketinggian atau elevasi medan.
DAFTAR PUSTAKA
Danoedoro.p. 2012 Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Yogyakarta: Andi





No comments:

Post a Comment