Pages

Wednesday, March 28, 2018

Materi 5 RESTORASI DAN KALIBRASI CITRA


Materi 5 RESTORASI DAN KALIBRASI CITRA

BAB 5 RESTORASI DAN KALIBRASI CITRA

Semua citra digital yang telah terekam oleh sensor dan disimpan dalam format yang dapat dibaca oleh program pengolah citra digital perlu ditampilkan pada layar monitor untuk dianalisis dan tidak jarang kemudian dicetak. Melalui layar monitor ini kualitas secara visual akan dapat terlihat jelas. Kulitas citra dapat ditentukan secara kuantitatif, tetapi dapat pula kualitatif. Restorasi citra diperlukan apabila kualitas citra yang digunakan tidak mencukupi dalam mendukung aplikasi tertentu. Namun sebenarnya semua citra yang diperoleh melalui perekaman sensor tak lepas dari kesalahan, yang diakibatkan oleh mekanisme perekaman oleh sensor, gerakan, wujud geometri dan konfigurasi permukaan bumi, serta kondisi atmosfer pada perekaman.

Kesalahan yang terjadi pada proses pembentukan citra ini perlu dikoreksi supaya aspek geometri dan radiometri yang dikandung oleh citra tersebut benar-benar dapat mendukung pemanfaatan untuk aplikasi yang berkaitan dengan pemetaan sumberdaya dan kajian lingkungan atau kewilayahan lainnya ( lihat kembali gambar 1.5) proses perbaikan kualitas citra supaya menghasilkan citra yang siap pakai untuk aplikasi tertentu ini disebut dengan restorasi citra. Beberapa praktisi sering kali menggunakan istilah pra pengolahan (pre-processing) untuk maksud yang sama karena restorasi citra memang dalam banyak hal ekstraksi informasi. Sebelum membahas masalah restorasi citra, ada baiknya bila masalah kualitas citra diulas sedikit disini karena masalah kualitas geometri dan kualitas radiometri citra berhubungan erat dengan proses restorasi.


5.1 KUALITAS CITRA

Kualitas citra yang akan dibahas pada subbab berikut berbeda dengan pengertian kualitas data spasial secara umum, seperti yang telah dipublikasikan secara mendalam oleh Guptill dan Morrison (1995). Kualitas data spasial secara umum yang dimaksudkan oleh Guptill dan Morrison adalah suatu keadaan data yang harus diinformasikan kepada pengguna data tersebut agar mereka dapat memaanfaatkannya secara proporsional; dan juga kepada praktisi atau peneliti yang dalam pekerjaannya menghasilkan keluaran berupa peta atau citra agar mencantumkan informasi tentang keadaan data yang dihasilkan sehingga data dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Kualitas data spasial menurut pengertian Guptill dan Morisson (1995) ini telah dibahas secara mendalam oleh suatu komisi dalam ICA (International Cartographic Association) yang bernama Komisi Kualitas Data Spasial. Komisi ini menekankan tujuh aspek informasi yang harus termuat sebagai metadata (‘data tentang data’) dan menjadi tolak ukur kualitas suatu data spasial, yaitu

1.      Lineage/genaology atau riwayat data
2.      Akurasi posisi
3.      Akurasi atribut
4.      Kelengkapan (completness)
5.      Konsistensi logis
6.      Akurasi semantik
7.      Informasi temporal

Pada subbab kali citra merupakan ukuran kualitatif maupun kuantitatif suatu citra yang akan diproses dengan teknik penginderaan jauh agar dapat menghasilkan informasi tematik-spasial turunan yang sesuai dengan standar akurasi yang telah ditetapkan. Secara garis besar, kualitas citra dapay dikelompokan menjadi kualitas geometri dan kualitas radiometri. Kualitas geometri dinilai secara kuantitatif berdasarkan tingkat kebenaran ( yang berarti tingkat akurasi) bentuk serta posisi objek pada citra, dengan mengacu pada bentuk dan posisi sebenarnya di lapangan ataupun bentuk dan posisi pada peta dengan proyeksi tertentu. Ukuran kualitas geometri ini tentu saja lebig bersifat kuantitatif. Di samping itu ukuran kualitas geometri ini terkait erat dengan salah satu aspek kualitas data spasial, yaitu akurasi posisi.

Kualitas radiometri dinilai berdasarkan nyaman-tidaknya gambar dalam pandangan secara visual, dan juga benar atau tidaknya infrormasi spektral yang diberikan oleh objek tercatat oleh sensor. Dengan demikian, kualitas radiometri  dapat dinilai secara kualitatif dan kuantitatif, meskipun bersifat kualitatif, nyaman-tidaknya gambar untuk dilihatsecara visual sangat berpengaruh pada kemampuan pengguna citra (penafsir atau analisis) untuk menurunkan informasi yang ada. Hal ini terutama berlaku bagi analisis atau interpretasi secara visual, meskipun bukan berarti bahwa analisis secara digital tidak terpengaruh sama sekali. Benar tidaknya informasi spektral citra secara langsung berpengaruh pada akurasi informasi turunan yang dihasilkan, misalnya kelas-kelas penutup lahan yang dihasilkan melalui klasifikasi multispektral, dan juga presentase kerapatan liputan vegetasi yang diturunkan melalui transformasi ndeks vegetasi

5.1.1 Penilaian Kualitas Citra

Penilaian kualitas citra dapat dilakukan secara absolut dan dapat pula secara relatif. Penilaian kualitas secara absolut biasanya mengacu pada beberapa tolak ukur yang jelas, misalnya presentase liputan awan, banyaknya drop-out atau kegagalan baris pemandaian,serta korelasi antar saluran pada sistem multispektral. Penilaian secara relatif biasanya dikaitkan dengan potensi citra yang bersangkutan untuk suatu aplikasi tertentu, misalnya survei geologi,kota maupun vegetasi.

5.1.2 Beberapa Parameter Kualitas Citra

Berikut ini ulasan tentang beberapa parameter kualitas citra yang sering digunakan oleh praktisi yaitu

a.       Tutupan awan dan gangguan kabut
b.      Korelasi antarsaluran
c.       Kesalahan geometri
d.      Kesalahan radiometri
1.      Tutupan Awan dan Gangguan Kabut

Satelit sumberdaya dikatakan ‘baik’ atau ‘memenuhi syarat’ antara lain bila luas liputan awannya kurang dari 10%. Semakin banyak luas liputan awannya berarti semakin banyak pula informasi permukaan bumu yang hilang karena tutupan awan dan sekaligus bayangannnya. Hal ini sangat berbeda dibandingkan dengan satelit cuaca yang justru banyak membutuhkan informasi mengenai bentuk dan luas liputan awan, demi peramalan gejala-gejala atmosfer atau cuaca (Conway dan Maryland Space Consortium, 1997). Meskipun demikian, sekaligus liputan awal total pada suatu scene hanya 10%, bisa jadi liputan tersebut merata pada seluruh wilayah. Hal ini tentu saja sangat menganggu dalam proses interpretasi manual maupun klasifikasi secara digital karena tutupan awan hampir selalu ‘ditemani’ oleh tutupan bayangan awan.
Di indonesia, citra yang 100% bebas awan sangat sulit diperoleh. Hal ini disebabkan oleh waktu perekaman satelit yang bersamaan dengan waktu perekaman satelit yang bersamaan dengan waktu pembentukan awan dengan sistem sensornya.

2.      Korelasi Antarsaluran

Sistem sensor multispektral menghasilkan citra daerah yang sama pada beberapa saluran. Perbedaan informasi spektral objek-objek yang sama pada beberapa saluran justru memperkuat kemampuan sistem dalam membedakan objek satu terhadap yang lain, melalui analisis gugus (cluster analysis). Dalam bahasa yang lebih sederhana, rendahnya hubungan antarsaluran justru menunjukan bahwa satu saluran tidaklah ‘mirip’ atau tidak sekadar menunjukan kecenderungan rona yang terbalik dari saluran yang lain sehingga secara bersama-sama saling melengkapi dapat dipakai untuk mengenali objek.

3.      Kesalahan geometri Citra

Citra yang dihasilkan secara langsung melalui proses perekaman satelit tidaklah bebas dari kesalahan. Kesalahan ini muncul karena adanya gerakan satelit, rotasi bumi, gerakan cermin pada sensor skanner, dan  juga kelengkungan bumi. Pada satelit sumberdaya yang umumnya mengorbit secara polar atau hampir polar, kombinasi mekanisme lintasan satelit dengan arah rotasi bumi menyebabkan terjadinya ‘pergeseran’ ujud gambar dari kelompok baris pemindaian ke kelompok baris pemindaian berikutnya. Hasil perekan juga merupakan model dua dimensi yang menggambarkan kenyataan tiga dimensi pada bidang lengkung permukaan bumi. Di sini sudah mumcul kesalahan geometri citra yang lain. Perbedaan tinggi objek di permukaan bumi secara langsung direkam sehingga menghasilkan citra dengan skala yang tidak seragam. Kesalahan ini masih ditambah dengan adanya variasi ketinggian lintasan satelit.

Gambar 5.1 dan 5.2 menunjukan parameter kesalahan, deskripisi efek yang ditimbulkan serta gambaran grafis dari efek tersebut. Kesalahan kesalahan geometri ini dapat dikoreksi dalam dua tahap utama. Tahap pertama adalah kesalahan geometri yang sudah dapat diperkirakan sebelumnya. Kesalahan ini dinamakan kesalahan sistematis, misalnya pengaruh gerakan vermin pemindai, kecepatan lindasan satelit, dan arah serta kecepatan rotasi bumi. Tahap kedua adalah pemasukan titik-titik kontrol lapangan yang dapat diidentifikasi  pada citra lapangan/peta referensi dan melalui pasangan titik-titik koordinat antara citra dan lapangan ini dapat dibangun suatu persamaan transformasi untuk mengoreksi setiap posisi yang salah pada citra menjadi posisi yang benar menurut skala, proyeksi, dan sistem koordinat peta referensi atau lapangan.
4.      Gangguandan Kesalahan Radiometri Citra
Inkonsistensi detektor dalam menangkap infromasi juga menghasilkan kesalahan berupa anomali nilai piksel. Piksel ini menjadi bernilai jauh lebih tinggi atau lebih rendah dari yang seharusnya. Keterlambatan dalam memulai baris perekaman baru (akibat mekanisme gerakan cermin yang berputar pada MSS Landsat) juga menghasilkan baris-baris perekaman yang cacat. Kesalahan-kesalaham tersebut diakibatkan oleh mekanisme internal sensor.

5.2 KOREKSI (RESTORASI) CITRA

Pada bagian sebelumnya telah disebutkan bahwa koreksi citra diterapkan pada kesalaahan yang telah dapat ditentukan magnitude-nya sebelumnya (disebut kesalahan sistematik), dan juga yang belum. Lepas dari itu, koreksi citra merupakan suatu operasi pengondisian supaya citra yang akan digunakan benar-benar memberikan informasi  yang akurat secara geometris dan radiometris.
5.1 Koreksi Geometri
Untuk mengatasi kesalahan-kesalahan geometri citra, berbagai macam koreksi dilakukan. Mather (2004) mengelompokan  koreksi itu ke dalam dua kategori besar, yaitu
a.       Model geometri orbital dan
b.      Transformasi  berdasarkan titik-titik kontrol lapangan (ground control points, GCP)
Berikut ini uraian masing-masing metode koreksi secara ringkas.
1.      Model Geometri Orbital
Metode kotreksi yang mengacu ke model geometri orbital didasari oleh pengetahuan mengenai karakteristik orbit wahana satelit. Bannari (1995, dalam Mather, 2004) menjelaskan dua prosedur berdasarkan persamaan-persamaan kolinearitas fotogrametri. Persamaan-persamaan ini menggambarkan karakteristik orbit satelit dan geometri arah pandang, serta mengaitkan sistem koordinat citra (baris-kolom) dengan sistem koordinat geografis (lintang-bujur). Hal ini memerlukan informasi tentang koordinat geografis dari beberapa titik di citra, yang disebut dengan titik-titik kontrol lapangan (GCP). Faktor-faktor yang dikoreksi melalui model geometri orbital ini dijelaskan sebagai berikut.

a.       Koreksi ‘Aspect Ratio’

Beberapa jenis sensor menghasilkan citra dengan piksel asli yang tidak berupa bujur sangkar (panjang setiap sisi tidak sama). Lansdat MSS, misalnya, seharuskan menghasilkan citra dengan setiap piksel berukuran 79 x 79 m atau jarak dari satu pusat piksel ke pusat piksel berikutnya adalah 79 m. Akan tetapi, hasil perekaman Landsat MSS berupa citra dengan jarak antarpusat piksel sebesar 56 m, yang disebabkan oleh proses ‘oversampling’ pada arah melintang garis orbit (across-track scanning). Oversampling terjadi karena ada perbedaan kecepatan antara pemindaian dengan coding dan penyimpanan data pantulan oleh detektor.

Untuk mengatasi hal ini maka perlu dipilih apakah piksel dikoreksi menjadi 79 x 79 m atau 56 x 56 m. Karena arah pemindaian melintang orbit yang mengalami oversampling maka pemiligan 79 x 79 di pandang lebih rasional. Aspect ratio (atau rasio dimensi xy) adalah 56:79 atau 1:1,41. Matriks transformasi pertama untuk mengoreksi aspect ratio menjadi 1:1

Selanjutnya...


No comments:

Post a Comment