Materi 5 RESTORASI DAN KALIBRASI CITRA
BAB 5
RESTORASI DAN KALIBRASI CITRA
Semua
citra digital yang telah terekam oleh sensor dan disimpan dalam format yang
dapat dibaca oleh program pengolah citra digital perlu ditampilkan pada layar
monitor untuk dianalisis dan tidak jarang kemudian dicetak. Melalui layar
monitor ini kualitas secara visual akan dapat terlihat jelas. Kulitas citra
dapat ditentukan secara kuantitatif, tetapi dapat pula kualitatif. Restorasi
citra diperlukan apabila kualitas citra yang digunakan tidak mencukupi dalam
mendukung aplikasi tertentu. Namun sebenarnya semua citra yang diperoleh
melalui perekaman sensor tak lepas dari kesalahan, yang diakibatkan oleh
mekanisme perekaman oleh sensor, gerakan, wujud geometri dan konfigurasi
permukaan bumi, serta kondisi atmosfer pada perekaman.
Kesalahan
yang terjadi pada proses pembentukan citra ini perlu dikoreksi supaya aspek
geometri dan radiometri yang dikandung oleh citra tersebut benar-benar dapat
mendukung pemanfaatan untuk aplikasi yang berkaitan dengan pemetaan sumberdaya
dan kajian lingkungan atau kewilayahan lainnya ( lihat kembali gambar 1.5)
proses perbaikan kualitas citra supaya menghasilkan citra yang siap pakai untuk
aplikasi tertentu ini disebut dengan restorasi citra. Beberapa praktisi sering
kali menggunakan istilah pra pengolahan (pre-processing) untuk maksud yang sama
karena restorasi citra memang dalam banyak hal ekstraksi informasi. Sebelum
membahas masalah restorasi citra, ada baiknya bila masalah kualitas citra
diulas sedikit disini karena masalah kualitas geometri dan kualitas radiometri
citra berhubungan erat dengan proses restorasi.
5.1
KUALITAS CITRA
Kualitas
citra yang akan dibahas pada subbab berikut berbeda dengan pengertian kualitas
data spasial secara umum, seperti yang telah dipublikasikan secara mendalam
oleh Guptill dan Morrison (1995). Kualitas data spasial secara umum yang
dimaksudkan oleh Guptill dan Morrison adalah suatu keadaan data yang harus
diinformasikan kepada pengguna data tersebut agar mereka dapat memaanfaatkannya
secara proporsional; dan juga kepada praktisi atau peneliti yang dalam
pekerjaannya menghasilkan keluaran berupa peta atau citra agar mencantumkan
informasi tentang keadaan data yang dihasilkan sehingga data dapat dimanfaatkan
sebagaimana mestinya. Kualitas data spasial menurut pengertian Guptill dan
Morisson (1995) ini telah dibahas secara mendalam oleh suatu komisi dalam ICA
(International Cartographic Association) yang bernama Komisi Kualitas Data
Spasial. Komisi ini menekankan tujuh aspek informasi yang harus termuat sebagai
metadata (‘data tentang data’) dan menjadi tolak ukur kualitas suatu data
spasial, yaitu
1. Lineage/genaology
atau riwayat data
2. Akurasi
posisi
3. Akurasi
atribut
4. Kelengkapan
(completness)
5. Konsistensi
logis
6. Akurasi
semantik
7. Informasi
temporal
Pada
subbab kali citra merupakan ukuran kualitatif maupun kuantitatif suatu citra
yang akan diproses dengan teknik penginderaan jauh agar dapat menghasilkan
informasi tematik-spasial turunan yang sesuai dengan standar akurasi yang telah
ditetapkan. Secara garis besar, kualitas citra dapay dikelompokan menjadi
kualitas geometri dan kualitas radiometri. Kualitas geometri dinilai secara
kuantitatif berdasarkan tingkat kebenaran ( yang berarti tingkat akurasi)
bentuk serta posisi objek pada citra, dengan mengacu pada bentuk dan posisi
sebenarnya di lapangan ataupun bentuk dan posisi pada peta dengan proyeksi
tertentu. Ukuran kualitas geometri ini tentu saja lebig bersifat kuantitatif.
Di samping itu ukuran kualitas geometri ini terkait erat dengan salah satu
aspek kualitas data spasial, yaitu akurasi posisi.
Kualitas
radiometri dinilai berdasarkan nyaman-tidaknya gambar dalam pandangan secara
visual, dan juga benar atau tidaknya infrormasi spektral yang diberikan oleh
objek tercatat oleh sensor. Dengan demikian, kualitas radiometri dapat
dinilai secara kualitatif dan kuantitatif, meskipun bersifat kualitatif,
nyaman-tidaknya gambar untuk dilihatsecara visual sangat berpengaruh pada
kemampuan pengguna citra (penafsir atau analisis) untuk menurunkan informasi
yang ada. Hal ini terutama berlaku bagi analisis atau interpretasi secara
visual, meskipun bukan berarti bahwa analisis secara digital tidak terpengaruh
sama sekali. Benar tidaknya informasi spektral citra secara langsung
berpengaruh pada akurasi informasi turunan yang dihasilkan, misalnya
kelas-kelas penutup lahan yang dihasilkan melalui klasifikasi multispektral,
dan juga presentase kerapatan liputan vegetasi yang diturunkan melalui
transformasi ndeks vegetasi
5.1.1
Penilaian Kualitas Citra
Penilaian
kualitas citra dapat dilakukan secara absolut dan dapat pula secara relatif.
Penilaian kualitas secara absolut biasanya mengacu pada beberapa tolak ukur
yang jelas, misalnya presentase liputan awan, banyaknya drop-out atau kegagalan
baris pemandaian,serta korelasi antar saluran pada sistem multispektral.
Penilaian secara relatif biasanya dikaitkan dengan potensi citra yang
bersangkutan untuk suatu aplikasi tertentu, misalnya survei geologi,kota maupun
vegetasi.
5.1.2
Beberapa Parameter Kualitas Citra
Berikut
ini ulasan tentang beberapa parameter kualitas citra yang sering digunakan oleh
praktisi yaitu
a. Tutupan
awan dan gangguan kabut
b. Korelasi
antarsaluran
c. Kesalahan
geometri
d. Kesalahan
radiometri
1. Tutupan
Awan dan Gangguan Kabut
Satelit
sumberdaya dikatakan ‘baik’ atau ‘memenuhi syarat’ antara lain bila luas
liputan awannya kurang dari 10%. Semakin banyak luas liputan awannya berarti
semakin banyak pula informasi permukaan bumu yang hilang karena tutupan awan
dan sekaligus bayangannnya. Hal ini sangat berbeda dibandingkan dengan satelit
cuaca yang justru banyak membutuhkan informasi mengenai bentuk dan luas liputan
awan, demi peramalan gejala-gejala atmosfer atau cuaca (Conway dan Maryland
Space Consortium, 1997). Meskipun demikian, sekaligus liputan awal total pada
suatu scene hanya 10%, bisa jadi liputan tersebut merata pada seluruh wilayah.
Hal ini tentu saja sangat menganggu dalam proses interpretasi manual maupun
klasifikasi secara digital karena tutupan awan hampir selalu ‘ditemani’ oleh
tutupan bayangan awan.
Di
indonesia, citra yang 100% bebas awan sangat sulit diperoleh. Hal ini
disebabkan oleh waktu perekaman satelit yang bersamaan dengan waktu perekaman
satelit yang bersamaan dengan waktu pembentukan awan dengan sistem sensornya.
2. Korelasi
Antarsaluran
Sistem
sensor multispektral menghasilkan citra daerah yang sama pada beberapa saluran.
Perbedaan informasi spektral objek-objek yang sama pada beberapa saluran justru
memperkuat kemampuan sistem dalam membedakan objek satu terhadap yang lain,
melalui analisis gugus (cluster analysis). Dalam bahasa yang lebih sederhana,
rendahnya hubungan antarsaluran justru menunjukan bahwa satu saluran tidaklah
‘mirip’ atau tidak sekadar menunjukan kecenderungan rona yang terbalik dari
saluran yang lain sehingga secara bersama-sama saling melengkapi dapat dipakai
untuk mengenali objek.
3. Kesalahan
geometri Citra
Citra
yang dihasilkan secara langsung melalui proses perekaman satelit tidaklah bebas
dari kesalahan. Kesalahan ini muncul karena adanya gerakan satelit, rotasi
bumi, gerakan cermin pada sensor skanner, dan juga kelengkungan bumi.
Pada satelit sumberdaya yang umumnya mengorbit secara polar atau hampir polar,
kombinasi mekanisme lintasan satelit dengan arah rotasi bumi menyebabkan
terjadinya ‘pergeseran’ ujud gambar dari kelompok baris pemindaian ke kelompok
baris pemindaian berikutnya. Hasil perekan juga merupakan model dua dimensi
yang menggambarkan kenyataan tiga dimensi pada bidang lengkung permukaan bumi.
Di sini sudah mumcul kesalahan geometri citra yang lain. Perbedaan tinggi objek
di permukaan bumi secara langsung direkam sehingga menghasilkan citra dengan
skala yang tidak seragam. Kesalahan ini masih ditambah dengan adanya variasi
ketinggian lintasan satelit.
Gambar
5.1 dan 5.2 menunjukan parameter kesalahan, deskripisi efek yang ditimbulkan
serta gambaran grafis dari efek tersebut. Kesalahan kesalahan geometri ini
dapat dikoreksi dalam dua tahap utama. Tahap pertama adalah kesalahan geometri
yang sudah dapat diperkirakan sebelumnya. Kesalahan ini dinamakan kesalahan
sistematis, misalnya pengaruh gerakan vermin pemindai, kecepatan lindasan
satelit, dan arah serta kecepatan rotasi bumi. Tahap kedua adalah pemasukan
titik-titik kontrol lapangan yang dapat diidentifikasi pada citra
lapangan/peta referensi dan melalui pasangan titik-titik koordinat antara citra
dan lapangan ini dapat dibangun suatu persamaan transformasi untuk mengoreksi
setiap posisi yang salah pada citra menjadi posisi yang benar menurut skala,
proyeksi, dan sistem koordinat peta referensi atau lapangan.
4. Gangguandan
Kesalahan Radiometri Citra
Inkonsistensi
detektor dalam menangkap infromasi juga menghasilkan kesalahan berupa anomali
nilai piksel. Piksel ini menjadi bernilai jauh lebih tinggi atau lebih rendah
dari yang seharusnya. Keterlambatan dalam memulai baris perekaman baru (akibat
mekanisme gerakan cermin yang berputar pada MSS Landsat) juga menghasilkan
baris-baris perekaman yang cacat. Kesalahan-kesalaham tersebut diakibatkan oleh
mekanisme internal sensor.
5.2
KOREKSI (RESTORASI) CITRA
Pada
bagian sebelumnya telah disebutkan bahwa koreksi citra diterapkan pada
kesalaahan yang telah dapat ditentukan magnitude-nya sebelumnya (disebut
kesalahan sistematik), dan juga yang belum. Lepas dari itu, koreksi citra
merupakan suatu operasi pengondisian supaya citra yang akan digunakan benar-benar
memberikan informasi yang akurat secara geometris dan radiometris.
5.1
Koreksi Geometri
Untuk
mengatasi kesalahan-kesalahan geometri citra, berbagai macam koreksi dilakukan.
Mather (2004) mengelompokan koreksi itu ke dalam dua kategori besar,
yaitu
a. Model
geometri orbital dan
b. Transformasi
berdasarkan titik-titik kontrol lapangan (ground control points, GCP)
Berikut
ini uraian masing-masing metode koreksi secara ringkas.
1. Model
Geometri Orbital
Metode
kotreksi yang mengacu ke model geometri orbital didasari oleh pengetahuan
mengenai karakteristik orbit wahana satelit. Bannari (1995, dalam Mather, 2004)
menjelaskan dua prosedur berdasarkan persamaan-persamaan kolinearitas
fotogrametri. Persamaan-persamaan ini menggambarkan karakteristik orbit satelit
dan geometri arah pandang, serta mengaitkan sistem koordinat citra
(baris-kolom) dengan sistem koordinat geografis (lintang-bujur). Hal ini
memerlukan informasi tentang koordinat geografis dari beberapa titik di citra,
yang disebut dengan titik-titik kontrol lapangan (GCP). Faktor-faktor yang
dikoreksi melalui model geometri orbital ini dijelaskan sebagai berikut.
a. Koreksi
‘Aspect Ratio’
Beberapa
jenis sensor menghasilkan citra dengan piksel asli yang tidak berupa bujur
sangkar (panjang setiap sisi tidak sama). Lansdat MSS, misalnya, seharuskan
menghasilkan citra dengan setiap piksel berukuran 79 x 79 m atau jarak dari
satu pusat piksel ke pusat piksel berikutnya adalah 79 m. Akan tetapi, hasil
perekaman Landsat MSS berupa citra dengan jarak antarpusat piksel sebesar 56 m,
yang disebabkan oleh proses ‘oversampling’ pada arah melintang garis orbit
(across-track scanning). Oversampling terjadi karena ada perbedaan kecepatan
antara pemindaian dengan coding dan penyimpanan data pantulan oleh detektor.
Untuk mengatasi hal ini
maka perlu dipilih apakah piksel dikoreksi menjadi 79 x 79 m atau 56 x 56 m.
Karena arah pemindaian melintang orbit yang mengalami oversampling maka
pemiligan 79 x 79 di pandang lebih rasional. Aspect ratio (atau rasio dimensi
xy) adalah 56:79 atau 1:1,41. Matriks transformasi pertama untuk mengoreksi
aspect ratio menjadi 1:1
Selanjutnya...
Selanjutnya...
No comments:
Post a Comment